S e l a m a t D a t a n g P a r a T a m u T a k D i U n d a n g !!!!

Syarat2 menjadi Guru yang Baik

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah
Istilah "Guru" pada dasarnya mempunyai arti yang luas. Semua orang yang pernah memberikan suatu ilmu atau kepandaian tertentu kepada seseorang atau sekelompok orang dapat disebut "guru". Akan tetapi yang kami uraikan dalam makalah ini ialah guru sekolah yang tugas atau pekerjaanya mengajar dan mendidik anak-anak.
Sebagai seorang pendidik, guru adalah orang yang berjasa besar terhadap masyarakat dan negara. Tinggi atau rendahnya kebudayaan suatu masyarakat, maju atau mundurnya tingkat kebudayaan suatu masyarakat dan negara, sebagian besar bergantung kepada pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh guru-guru.
Makin tinggi pendidikan guru, makin baik pula mutu pendidikan dari pengajaran yang diterima oleh anak-anak, dan makin tinggi pula derajat masyarakat. Oleh sebab itu, guru harus berkeyakinan dan bangga bahwa ia dapat menjalankan tugas itu. Guru hendaklah berusaha menjalankan tugas kewajiban sebaik-baiknya.

II. Rumusan Masalah.
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, akan kami uraikan:
- Syarat-syarat menjadi guru yang baik.
- Sikap dan sifat-sifat guru yang baik.

III. Tujuan Penulisan
Para mahasiswa-mahasiswi, diharapkan nantinya benar-benar siap menjalankan perannya di masa depan, yakni sebagai guru agama yang bisa dihandalkan dan patut dibanggakan.






BAB II
SYARAT-SYARAT MENJADI GURU YANG BAIK

Berdasarkan Undang-Undang no. 12 tahun 1945 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah seluruh Indonesia, seorang guru diharuskan memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Berijazah,
b. sehat jasmani dan rohani,
c. taqwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik,
d. bertanggung jawab,
e. berjiwa nasional.

a. Berijazah
Ijazah bukanlah semata-mata sehelai kertas saja. Ijazah adalah surat bukti yang menunjukkan bahwa seseorang telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan-kesanggupan tertentu, yang diperlukannya untuk suatu jabatan atau pekerjaan.
Dengan memiliki ijazah berarti seseorang telah memiliki wewenang untuk menjalankan tugas sebagai guru di suatu sekolah tertentu. Pemerintah telah mengadakan berbagai sekolah dan kursus-kursus serta akademi-akademi yang khusus mendidik orang-orang yang akan ditugaskan menjadi guru di berbagai sekolah, sesuai dengan wewenang ijazahnya masing-masing.

b. Sehat jasmani dan rohani
Merupakan salah satu syarat utama seorang guru adalah sehat jasmani dan rohani, hal ini bertujuan agar seorang guru dapat menjalankan perannya dengan maksimal, sehingga nantinya diharapkan akan bias tercapainya hasil yang baik serta maksimal pula bagi anak didiknya.

c. Taqwa kepada Tuhan YME dan berkelakuan baik
Dalam GBHN 1983-1988 dinyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan YME: dalam Undang-Undang no. 12 tahun 1954 pasal 3 dinyatakan: Tujuan pendidikan ialah membentuk manusia susila. Ketaqwaan terhadap Tuhan YME, kesusilaan, watak atau budi pekerti yang baik, tidak mungkin diberikan oleh orang-orang yang tidak berketuhanan YME atau taat beribadah menjalankan agamanya dan tidak berkelakuan baik. Pembentukan manusia susila yang taqwa kepada Tuhan YME hanya mungkin diberikan oleh orang-orang yang memiliki dan hidup sesuai dengan norma-norma agama dan masyarakatserta peraturan-peraturan yang berlaku.

d. Bertanggung jawab
Sebagai seorang guru harus bertanggung jawab atas tugasnya sebagai guru, yaitu mengajar dan mendidik anak yang telah dipercayakan kepadanya. Disebutkan dalam Al-qur'an al-Karim:
     
Artinya:
Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)? (QS. Al-Qiyamah:36)
Di samping itu, tidak boleh pula dilupakan tugas-tugas dan pekerjaan lain yang memerlukan tanggung jawabnya, karena selain tugasnya sebagai guru di sekolah, gurupun merupakan anggota masyarakat yang mempunyai tugas dan kewajiban lain.

e. Berjiwa nasional
Untuk menanamkan perasaan dan jiwa kebangsaan (jiwa nasional) kepada peserta didik, seorang guru harus berjiwa nasional pula. Pendidikan nasional tidak mungkin diberikan oleh orang-orang yang a-nasional.
Adapun salah satu alat yang utama untuk menanamkan perasaan kenasionalan itu ialah bahasa.










BAB III
SIKAP DAN SIFAT-SIFAT GURU YANG BAIK

Disamping memenuhi syarat-syarat yang bersifat umum sebagaimana di atas, seorang guru juga harus menetapi syarat-syarat lain, yaitu beberapa sikap dan sifat sebagaimana berikut:

a. Adil
Seorang guru harus adil, misalnya dalam memperlakukan anak-anak didiknya harus dengan cara yang sama. Ia tidak membedakan anak yang cantik, anak saudaranya sendiri, anak orang berpangkat, atau anak yang menjadi kesayangannya. Perlakuan yang adil itu perlu bagi guru, misalnya dalam hal memberi nilai, menghukum anak, ataupun beberapa hal yang lain. Firman Allah:
•           ••     •      •     
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat (An-Nisa':58).

b. Percaya dan suka kepada murid-muridnya
Jan Lighthart, seorang ahli didik yang terkenal, pernah berkata, "Semua pendidikan haruslah didasarkan atas keyakinan bahwa anak itu mempunyai kata hati. Jika keyakinan itu tidak ada, tak perlulah orang mendidik. Orang yang lemah dapat dijadikan kuat; norang bodoh dapat dijadikan pandai; tetapi orang yang tidak punya kata hati tak mungkin diperbaiki." Dalam Hadits Qudsi, Allah berfirman:
انا عند ظن عبدي بي
Artinya:
“Aku tergantung pada prasangka hambaku.” (Niat-sugesti) terhadap diriku.
Seorang guru juga harus mencintai murid-muridnya. Firman Allah SWT dalam surat Ali Imran:159:
                              •    
Artinya:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali Imran:159)
Hanya pendidik yang percaya dan mencintai anak didiknya yang dapat mendidik anak-anak itu dengan hasil baik.

c. Sabar dan rela berkorban
Hampir pada tiap-tiap pekerjaan, kesabaran merupan syarat yang sangat diperlukan, demikian juga dengan pekerjaan guru sebagai pendidik, ia harus memiliki sifat sabar, baik dalam melakukan tugas mendidik maupun dalam menanti hasil jerih payahnya. Ia juga harus mengevaluasi proses dan hasil pendidikan yang sedang dan sudah dilaksanakan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, surat Al-Baqarah: 31:
               
Artinya:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al-Baqarah: 31)
Hasil pekerjaan tiap-tiap guru dalam mendidik seorang anak tidak dapat ditunjukkan dan dilihat seketika. Banyak usaha guru dalam mendidik anak-anak yang belum dapat kelihatan hasilnya sampai anak itu keluar sekolah. Banyak pula usaha atau jerih payah guru yang baru dapat dipetik buahnya setelah anak itu menjadi orang dewasa, setelah ia berdiri sendiri dalam masyarakat.
Semua itu memerlukan kesabaran dan kerelaan berkorban dari seorang guru. Sifat sabar dan rela berkorban itu ada pada seorang pendidik jika pendidik itu mempunyai rasa cinta terhadap anak didiknya.

d. Memiliki perbawa (gezag) terhadap anak-anak
Tanpa adanya gezag pada pendidik, tidak mungkin pendidikan itu dapat masuk ke dalam hati sanubari anak-anak. Tanpa kewibawaan, murid-murid hanya akan menuruti kehendak dan perintah gurunya karena takut atau paksaan, jadi bukan karena keinsafan atau kesadaran di dalam dirinya.

e. Penggembira
Sifat humor yang pada tempatnya merupakan pertolongan untuk memberi gambaran yang betul dari beberapa pelajaran.
Dilihat dari sudut psikologi, setiap orang mempunyai dua naluri (insting): (1) naluri untuk berkelompok, dan (2) naluri suka bermain-main bersama. Kalau kedua naluri itu dapat kita pergunakan dengan bijaksana dalam tiap-tiap mata pelajaran, hasilnya akan baik dan berlipat ganda.

f. Bersikap baik terhadap guru-guru lainnya
Tingkah laku dan budi pekerti anak-anak sangat banyak dipengaruhi oleh suasana di kalangan guru-guru. Jika guru-guru saling bertentangan, tidak mungkin dapat diambil sikap dan tindakan yang sama. Anak-anak tidak tahu apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang.
Suasana baik di antara guru-guru nyata dari pergaulan ramah tamah mereka di dalam dan di luar sekolah. Mereka saling menolong dan kunjung-mengunjungi dalam keadaan suka dan duka. Mereka merupakan satu keluarga besar keluarga sekolah.

g. Bersikap baik terhadap masyarakat
Tugas dan kewajiban guru tidak hanya terbatas pada sekolah saja, tetapi juga dalam masyarakat. Seorang guru yang merasa cukup dengan apa yang dilakukan di lingkungan sekolah saja, tentu akan kurang luas pandangannya. Dan meskipun seorang guru memiliki pengetahuan yang lebih daripada nasyarakat pada umumnya hendaklah ia selalu bersikap rendah hati, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an, surat Al-Hijr:88:
 •              
Artinya:
Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman. (Al-Hijr:88).
Menurut aliran-aliran baru dalam pendidikan dan pengajaran selalu dianjurkan supaya sekolah jangan menjauhkan diri dari masyarakat. Sekolah hendaknya bias menjadi cermin pada masyarakat. Sekolah hendaknya menjadi cermin bagi masyarakat sekitarnya, dirasai oleh masyarakat bahwa sekolah itu adalah kepunyaanya dan memenuhi kebutuhan mereka.

h. Benar-benar menguasai mata pelajarannya
Guru yang pekerjaanya memberikan memberikan pengetahuan-pengetahuan dan kecakapan-kecakapan pada anak didiknya akan bisa meraih hasil yang maksimal apabila dalam proses kegiatan belajar-mengajarnya seorang guru tersebut benar-benar menguasai mata pelajan yang dipegangnya.

i. Suka kepada mata pelajaran yang diberikannya
Mengajarkan mata pelajaran yang disukainya hasilnya lebih baik dan mendatangkan kegembiraan baginya daripada sebaliknya. Di sekolah menengah hal ini penting bagi guru untuk memilih mata pelajaran apa yang disukainya yang akan diajarkannya.

j. Berpengetahuan luas
Selain mempunyai pengetahuan yang dalam tentang mata pelajaran yang sudah menjadi tugasnya, akan lebih baik lagi jika guru itu mengetahui pula tentang segala sesuatu yang penting-penting, yang ada hubungannya dengan tugasnya di dalam masyarakat. Ia haruslah seorang yang mempunyai perhatian intelektual yang luas dan tidak kunjung padam, karena guru merupakan tempat bertanya tentang segala sesuatu bagi masyarakat.



BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan
Menengok pada perannya, pekerjaan atau profesi sebagai guru sangatlah luhur dan mulia, baik ditinjau dari sudut masyarakat, negara dan juga agama. Betapa tidak, kemajuan masyarakat dan negara sangat bergantung kepadanya. Sehingga seorang guru haruslah menetapi beberapa syarat sebagai guru dan memiliki sikap dan sifat yang patut diteladani. Ia juga harus selalu berusaha semaksimal mungkin dalam menjalankan amanat yang diembannya.

والله أعلم بالصواب




















DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, 2006.
Drs. Cholil Uman MA, Kamus Alqur'an Lengkap, Bandung, Citra Umbara, 2004.
Beberapa sumber yang lain.

KARAKTERISTIK USHUL FIQIH MENURUT HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH

KARAKTERISTIK USHUL FIQIH

MENURUT HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH


I. PENDAHULUAN

Fiqih Islam lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam karena sebagaimana dimaklumi agama Islam sendiri adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesama. Karena luasnya aspek yang diatur oleh Islam para ahli membagi ajaran Islam ke dalam beberapa bidang seperti bidang aqidah, ibadah, dan muamalah. Kesemua ini di masa Rosulullah di terangkan dalam Al Qur’an sendiri yang kemudian diperjelas oleh Rosulullah dalam Sunnahnya. Hukum yang di tetapkan dalam Al Qur’an/Sunnah kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau disebabkan terjadi suatu kasus atau merupakan suatu keputusan yang di keluarkan oleh Rosulullah ketika memutuskan suatu perkara. Jadi sumber fiqih di masa itu hanya ada dua yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasul .
Ilmu Ushul Fiqih baru lahir pada Abad ke 2 H. Pada abad ini kekuasaan umat Islam semakin luas banyak orang yang bukan arab memeluk Agama Islam. Karena itu banyak menimbulkan perbedaan dalam memahami nash. Sehingga dirasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash. Maka lahirlah Ilmu Ushul Fiqih yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Namun semenjak lahirnya Ilmu Ushul Fiqih sebagaimana juga Ilmu Pengetahuan yang lainnya baru dalam bentuk yang sangat sederhana. Pembahasannya masih berserakan dalam pembahasan dalil yang dikemukakan untuk memperkuat dan mempertahankan pendapat.
Dalam pengambangan Ilmu Ushul Fiqih banyak sekali Ulama’-ulama’ Madzhab yang berkembang pada zaman tersebut. Tentu saja mereka mempunyai pendapat yang berbeda beda. Mazhab-mazhab tersebut seperti: Imam Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali
Oleh karena itu penulis tertarik dengan karakteristik imam-imam mazhab tersebut. Dalam kajian ini penulis mencoba menyajikan karakteristik Ushul Fiqih menurut Hanafiyyah dan Syafiiyah. Semoga makalah yang sedikit ini dapat bermanfaat. Amin…….!


II. PEMBAHASAN
A. HANAFIYAH
Imam Abu Hanifah di lahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 M). Beliau mula-mula mempelajari Ilmu Kalam, kemudian mempelajari Ilmu Fiqih dengan seorang yang bernama Hamad Bin Sulaiman di kota Kufah dan wafat pada tahun 150 H (769M) di Bagdad.
Irak dimana Abu Hanifah dilahirkan suatu daerah yang penuh dengan pergolakan politik dan letaknya jauh dari kota Madinah yang tentunya jumlah hadist yang ada di daerah ini sangat sedikit dan juga kalangan Khawarij dan Syiah yang berupaya menarik perhatian umat Islam unutk memperkuat propaganda politik mereka.
Dasar-dasar istidlal yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash AlQur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan suatu hukum itu disebut, maka beliau mengambil dari keduanya. Tetapi bila nash tersebut menunjukkan secara tidak langsung/hanya memberikan kaidah-kaidah dasar yang menunjukkan moral, Illat maka pengambilan hukum tersebut melalui Qiyas.
Dalam pernyatan tersebut Abu Hanifah tidak menyebutkan Qiyas dan Ihtishan ke dalam dasar-dasar yang menjadi pijakan dalam berijtihad sebab yang Beliau maksudakan ialah dasar Naqliyah sementara Qiyas dan Istihsan merupakan metode Istidlal Aqliyah. Masalah ini dapat di pahami dari pernyataan Abu Hanifah bahwa ” beliau tidak merujuk pada pendapat sahabat kecuali apabila tidak ditemukan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi. Demikian pula apabila tidak ditemukan dalam pendapat sahabat dan masalahnya sampai pada tabiin maka Beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad “.
Dalam masalah ini sebenarnya belum ada perbedaan dengan para imam yang lain. Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan yang lain sebenarnya terletak pada kegemaran Beliau dalam menyelami suatu hukum, mencari tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah teori penggunaan qiyas,istihsan, urf (adat kebiasaan), kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan yang lebih tajam lagi bahwa Imam Abu Hanifah menggunakan

teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penggunaan hadist ahad, tidak seperti para imam lainnya. Imam Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dengan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka, illat, hikmah, dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang Beliau pahami. Betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang acapkali menyelami dibalik arti dan illat suatu hukum dan sering mempergunakan Qiyas tetapi itu tidak berarti beliau telah mengabaikan nash-nash Al Quran dan sunnah. Tidak ada riwayat shohih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Sunnah. Bahkan jika beliau menemukan pendapat sahabat yang benar beliau menolak untuk berujtihad. Dengan kata lain pemikiran fikih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri, tetapi malah berakar kuat pada pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz.
Muhammad Bin Ahsan, seperti yang dikutip oleh Abu Zahrah membenarkan dalam masalah hukum seseorang melakukan hubungan dengan istrinya sebelum Tawaf, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas seorang ulama’ Ahli Hadits Makkah dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
Secara faktual pemikiran Abu Hanifah memang sangat mendalam dan rasional. Beliau memberi syarat yang cukup ketat dan selektif dalam penerimaan hadits ahad. Bagi Abu Hanifah ada 3 syarat yang harus di penuhi dalam penerimaan hadits ahad sbb:
1. Orang yang meriwayatkan hadits tidak boleh berbuat/berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan.
2. Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum dan sering terjadi sebab kalau menyangkut persoalan umum dan sering terjadi mestinya hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi tidak seorang saja.
3. Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah – kaidah umum atau dasar – dasar kulliyah.
Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh fuqoha’ dari pada seorang ahli hadits kejujuran saja belum cukup unutk mengetahui seluk beluk hadits apalagi yang menyangkut hukum. Oleh karena itu Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang mengerti masalah fiqih.

Kondisi sosiologis dimana Abu Hanifah dibesarkan tentu mempengaruhi cara berfikir. Dengan sikap selektif dalam penerimaan hadits ahad Abu Hanifah dapat lebih leluasa melakukan penafsiran hadits-hadits shahih, menyelami tujuan moral dan banyak mempergunakan rasio sehingga mampu memberi jawaban perkembangan terhadap berbagai perkembangan pada saat itu. Para ahli fiqih diwilayah Kufah lebih banyak mengenal dan mengerti hadits dari fuqoha bukan dari para muhaddisin. Sudah barang tentu Abu Hanifah dituntut untuk menyeleksi hadits yang sampai ke Kufah atau minimal menyangsikan kesahihan hadits atau perawinya yang tidak memenuhi persyaratan. Dari situ beliau cenderung memakai rasio dan ijtihad.
Dr. Faruq Abu Zaid menyebut beberapa faktor lain yang melatar belakangi kecenderungan dan metode rasional Abu Hanifah. Penduduk Kufah tempat Beliau dilahirkan dan dibesarkan merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqoha’ daerah ini sering dihadapkan pada berbagai pedoman hidup berikut problematikanya yang beranekaragam. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan Hijaz. Masyarakat daerah ini masih diliputi oleh suasana kehidupan Badawah (sederhana) seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam kondisi seperti ini para ahli fiqih merasa cukup dengan mengandalkan Al Quran, Sunnah dan Ijma’ para sahabat. Karena itulah mereka tidak merasa perlu berijtihad seperti fuqoha’ Irak.
Faktor lain yang menyebabkan Abu Hanifah menjadi seorang rasionalis bahwa Beliau tidak langsung menggumuli Ilmu-ilmu syariat. Pada awal kehidupan Iklmiahnya Beliau mempelajari Ilmu kalam kemudian belajar Fiqih kepada Syeh Hammad Bin Sulaiman. Beliau juga seorang pedagang kain yang menyebabkan Beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang perdagangan. Studinya dalam Ilmu kalam membuatnya tampil dalam menggunakan logika unutk mengatasi berbagai persoalan Fiqih.




B. SYAFIIYAH
Muhammad Bin Idris Asy Syafii dilahirkan dikota Gaza (Palestina) pada tahun 150 H ketika masih kecil dibawa Ibunya ke Makkah dan di kota tersebut Beliau belajar Hadis dengan Muslim Al Zanji dan Sofyan Bin Umaiyah. Sesudah itu Beliau meneruskan pelajarannya ke kota Madinah dan belajar dengan Imam Malik.
Setelah beberapa tahun Beliau melakukan perjalanannya ke berbagai kota kemudian beliau sempat singgah di Bagdad selama beberapa tahun. Selama di Bagdad Beliau menghimpun pandangan Fiqihnya berdasarkan pengalaman yang sudah dialaminya dalam sebuah kitab yang dinamakan “Al Hujjah” dan juga dinamakan mazhab qadim/qoul qadim. Pada tahun 198 H atas permintaan Gubernur Abbas Bin Musa untuk mengunjungi Mesir dan beliau berada di Mesir selama 6 tahun sampai beliau wafat pada tahun 204 H. Selama di Mesir Beliau mengubah pendapatnya yang lama yang di tulis pada saat di Bagdad di ganti dengan pendapat baru yang dinamakan pendapat jadid/qoul jadid yang terhimpun dalam kitab “Al Um” selama dalam perantauan. Disamping itu Imam Syafii juga menulis kitab “Ar Risdalah” yang menjadi dasar Ilmu Ushul Fiqih.
Mazhab Syafii adalah satu-satunya mazhab yang tersebar tanpa mendapat dukungan dari pemerintah tersebar dikarenakan dalam menetapkan hukum selalu mempergunakan dalil nash. Karena itu ajaran imam Syafii dapat menghimpun kedua aliran yang berkembang pada masanya yaitu Ahli Hadits dan Ahlu Ra’yi. Karena Beliau pernah belajar kepada kedua tokoh aliran tersebut. Namun Beliau tidak terpengaruh kepada Aliran Ahlu Ra’i tetapi lebih banyak kepada aliran Ahlul hadits.
Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash selama tidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi. Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin

dan ijmak baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.
Imam Syafii menyebutkan 4 cara Al Qur’an dalam menerangkan suatu hukum sbb:
1. Al Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas. Seperti nash yang mewajibkan sholat, zakat, puasa, haji atau nash yang mengharamkan zina, minum khomr dll.
2. Suatu hukum yang disebut secara global dalam Al Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Seperti jumlah rokaat Sholat, waktu pelaksanaannya, zakat apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkannya. Semua itu disebut secara global dalam Al Qur’an dan Nabilah yang menerangkan secara perinci.
3. Nabi Muhammad SAW juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al Qur’an. Bentuk penjelasan penjelasan Al Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada Nabi dan menjauhi larangannya. Dalam Al Qur’an disebutkan yang artinya sbb:
“….. Barang siapa yang taat kepada Rosul berarti ia taat kepada Allah …” (Q.s 4:80)
Dengan demikian suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al Qur’an. Karena Al Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi … (Qs 59:7)
4. Allah juga mewajibkan hambanya unutk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuannya dalam Al Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al Qur’an terhadap masalah seperti ini yaitu dengan membolehkan untuk berijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap Maqasid Al Syar’iah (tujuan-tujuan hukum syariah) misalnya dengan Qiyas / penalaran analogi. Dalam Al Qur’an disebutkan:
“ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rosulnya dan orang-orang yang mempunyai kekuasaan diantara kamu. Maka apabila kamu berselsih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rosulnya “ (Qs.4:59)


Menurut Imam Syafii kembalikan kepada Allah dan Rosulnya berarti kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat dilakukan dengan Qiyas. Beliau juga menyebutkan bahwa Ijtihad merupakan perintah AlQur’an itu sendiri dan bukan merekayasa hukum.
Dari keterangan tersebut dapat diketahui “posisi tengah” pemikiran metodologis Syafii. Beliau sangat berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah.

III. KESIMPULAN

Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa sesuai dengan kondisi di irak Imam Abu Hanifah dalam membina Fiqihnya lebih dahulu mengutamakan AlQur’an sebagaimana imam-imam yang lain kemudian Sunnah. Hanya dalam pemakaian Sunnah beliau meletakkan syarat yang sangat berat sekali. Jadi dengan demikian jelas Imam Abu Hanifah diantara imam-imam Mazhab lainnya terkenal yang paling banyak mempergunakan rasio.
Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash selam atidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi. Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin
dan ijmak baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.



FIQH PADA MASA SAHABAT
Oleh; Muhammad Bahruddin

I. PENDAHULUAN
Ketika Rosulullah masih hidup, semua persolan langsung di serahkan pada beliau yang juga langsung mendapat bimbingan khusus dari Allah melalui wahyu yang turun setiap kali ada persoalan. Beliau tidak sekedar sebagai Nabiyullah, namun juga sebagai Bapak bagi seluruh umat Islam. Setelah Nabi wafat umat Islam seakan kehilangan sosok yang selama ini menjadi panutan bagi mereka. Mereka bingung kemana lagi harus mengadu. Untunglah Nabi mempunyai sahabat-sahabat yang gigih, tak kenal lelah dalam memperjuangkan Islam. Sahabat-sahabat inilah yang nantinya menggantikan Nabi. Fiqh yang semula di tangani Rosulullah, kini berpindah di pundak tanggung jawab sahabat, yang untuk selanjutnya kita sebut sebagai "FIQH ERA SAHABAT".
Periode ini di mulai setelah wafatnya Rosulullah saw. pada tahun 11 H. dan berakhir di penghujung abad I H. Kami menyebut masa ini sebagai periode sahabat karena pda masa ini pembinaan hukum di pegang oleh para pembesar sahabat.
Pada periode inilah mulai di buka pintu istimbat terhadap peristiwa aktual yang belum ada nashnya, dan para sahabat mulai mengeluarkan pendapat-pendapatnya di dalam menafsiri nash-nash hukum yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus di anggap sebagai rujukan generasi selanjutnya di dalam menafsirkan nash-nash tersebut. Dari para sahabat inilah banyak di dapat fatwa-fatwa mengenai suatu hukum yang belum ada nashnya, sekaligus di jadikan dasar peletakan ijtihad dan istimbat.
Dalam makalah yang kecil ini, sedikit kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan fiqh pada periode ini, baik sumber-sumber hukum, perkembangan, maupun peranan sahabat. Semoga makalah kecil ini dapat bermanfaat bagi kita dan mebuka cakrawala pemikiran kita dalam meneruskan perjuangan baginda Rosulullah saw. Amin…

II. PEMBAHASAN
II.A. PERANAN SAHABAT
Pada periode pertama Rosulullah meninggalkan undang-undang ynag berisi nash-nash hukum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bagi umat Islam. Namun demikian, tidak setiap muslim dapat merujuk sendiri atau memahami dalil-dalil tersebut, terutama orang-orang awam yang tidak bisa mencapai pemahaman nash-nash kecuali melalui orang-orang yang dapat memahaminya. Di sisi lain, undang-undang ini belum tersebar luas di kalangan muslimin sehingga dapat di nikmati setiap individu muslimin, karena pada periode ini ayat-ayat Al-Qur’an masih tersebar di lembaran-lembaran khusus yang di simpan di kediaman Rosulullah saw dan sebagian sahabat, tentu saja As-Sunnah juga belum di kodifikasikan sama sekali. Dari sinilah para cendikiawan dan tokoh-tokoh sahabat terinspirasi dan merasa bertanggung jawab untuk menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an serta mempublikasikannya ke seluruh penjuru jazirah Arab. Para sahabat inilah yang memiliki peranan urgen dalam menjaga eksistansi perjuangan Rosulullah saw. dan sebagai rujukan terhadap permasalahan yang terus muncul bagai jamur di musim penghujan, karena memang kelebihan mereka dalam hafalan Al-Qur’an dan As-Sunnah, asbabun nuzul, serta lamanya mereka hidup bersama Nabi.
Di antara para sahabat yang terkenal dalam memberi fatwa adalah:
Di Madinah: al-Khulafaur Rosidun, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan ‘Aisyah.
Di Makkah : Abdullah bin Abbas.
Di Kufah : Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Mas’ud.
Di Bashrah : Anas bin Malik, dan Abu Musa Al-Asy’ari.
Di Syam : Mu’adz bin Jabal, Ubadah bin Shomit.
Di Mesir : Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
Pada permulaan abad ini, kebanyakan dari mereka berada di Madinah, tetapi setelah kemenangan demi kemenangan di raih oleh umat Islam, mereka berpencar, sehingga ijtihad yang mulanya di lakukan bersama (jama’i) kini menjadi ijtihad individu (fardi).
Para sahabat, khususnya periode ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam membela dan mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar melestarikan “tradisi hidup” Nabi, tetapi juga menyebarkan sayap dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam, dan Mesir. Ini untuk pertama kalinya fiqh berhadapan dengan persoalan baru : penyelesaian atas masalah moral, etika, kultural, dan kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang pluralistik.
Agaknya inilah faktor yang terpenting yang mempengaruhi perkembangan fiqh pada periode ini. Daerah-daerah yang di buka dan di Islamkan saat itu memiliki perbedaan masalah kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para fuqoha’, sahabat untuk memberikan hukm pada persoalan-persoalan baru yang muncul belakangan
Para sahabat dengan kapasitas pemahaman yang komprehensif terhadap Islam – karena lamanya bergaul dengan Nabi dan menyaksikan sendiri proses turunnya syari’at – menyikapi setiap persoalan yang muncul dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Mereka menggali kandungan-kandungan moral Al-Qur’an. Ada kalanya mereka menemukan nash Al-Quran atau petunjuk Nabi yang jelas menunjukkan pada persoalan tersebut, tetapi dalam banyak hal mereka harus menggali kaidah-kaidah dasar dan tujuan moral dari berbagai tema dalam Al-Qur’an untuk diaplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru yang tidak di jumpai ketentuan nashnya. Perkembangan baru yang muncul mengiringi perluasan wilayah islam itu sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyah. Saat itu mulai terjadi perbedaan pemahaman terhadap nash, sebagaimana perbedaan itu juga muncul karena perbedaan persepsi dan pendapat.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lain. Sebagian mereka ada yang memeluk Islam dan sebagian lagi tetap pada agamanya. Ini suatu perkembangan yang belum muncul di zaman Nabi sehingga di butuhkan suatu aturan baru yang mengatur hubungan oprang-orang Islam dengan non-Muslim. Para fuqoha’ untuk yang kesekian kalinya berusaha merumuskan bagaimana Islam mengatur kemajemukan hidup seperti ini. Dan, tidak jarang pula mereka melakukan ijtihad untuk menjawab persoalan-persoalan yang tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadits yang secara tegas memerinci hukum masalah ini.

II.B. SUMBER-SUMBER FIQH PADA PERIODE INI
Seperti telah di sebutkan di atas, perkembangan baru yang muncul mengiringi perluasan wilayah Islam itu sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyah. Setiap ada persoalan baru para fuqoha kembali pada Al-Qur’an sebagai dasar agama, kemudian merujuk pada sunnah Nabi. Jika dari kedua warisan itu tidak di temukan ketentuan hukumnya, mereka berkumpul dan bermusyawarah untuk membicarakan persoalan itu. Dan bila terjadi kesepakatan barulah di putuskan hukum dari persoalan yang mereka hadapi yang kemudian di kenal dengan istilah ijma’.
Karena itu selain Al-Qur’an dan Sunnah, ijtihad juga merupakan sumber fiqh yang menjadi rujukan para fuqoha. Dengan demikian kita dapat pula mengatakan bahwa fiqh pada periode ini adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad. Berikut akan kita bicarakan sedikit tentang perkembangan sumber-sumber hukum di atas.

II.B.1. AL-QUR’AN
Sepeniggal Nabi saw, Al-Qur’an belum di kumpulkan dalam satu mushaf tetapi masih berbentuk lembaran-lembaran yang terpisah. Sementara itu beberapa kali terjadi kegoncangan dalam pemerintahan kholifah Abu Bakar. Dalam suatu peperangan dengan penduduk Yamamah yang murtad, sekitar 500 sahabat dan 70 di antaranya dari khuffadz Al-Qur’an.
Timbul kekhawatiran Umar dengan meninggalnya para khuffadz itu akan mengakibatkan hilangnya warisan Al-Qu’an. Umar segera bertindak dengan mendatangi Abu Bakar dan mengusulkan agar mulai di rintis pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Namun Abu Bakar tidak mau, karena hal itu tidak pernah di lakukan oleh Nabi. Setelah beberapa kali Umar datang dan mendesak Abu Bakar, denngan alasan demi kemaslahatan umat Islam, akhirnya Allah membuka hati Abu Bakar, lalu beliau menemui Zaid bin Tsabit. Hal serupa juga di alami Abu Bakar, namun Allah membuka hati Zaid, sebagaimana telah melapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Dari sini kita tahu bahwa yang di lakukan Abu Bakar bukan penulisan Al-Qur’an – karena Al-Qur’an telah di tulis pada zaman Nabi – tetapi pengumpulan dalam satu mushaf, setelah sebelumnya tertulis dalam lembaran-lembaran daun, kulit dan tulang yang terpisah.
Pada masa kholifah ketiga, Utsman bin Affan muncul perbedaan cukup tajam tentang bacaan Al-Qur’an. Perbedaan itu di laporkan oleh Khudzaifah bin Yaman - seorang pim-pinan perang di Armenia dan Azarbaijan - cenderung mengarah pada permusuhan di kalangan umat Islam. Pada perang Armenia dan Azarbaijan, misalnya, prajurit Islam yang datang dari berbagai tempat berselisih tentang bacaan Al-Qur’an itu. Dan kekhawatiran akan munculnya perselisihan lebih tajam lagi mengilhami Utsman bin Affan untuk berinisiatif menertipkan bacaan Al-Qur’an. Maka, Utsman minta kepada Hafsah, istri Nabi, untuk menyerahkan Mushaf yang di tulis pada masa Abu Bakar dan menyuruh beberapa penulis wahyu seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin Ash dan Abdurrahman bin Harits untuk menertibkan bacaan Al-Qur’an.
Setelah proses penertiban ini selesai, Utsman mengembalikan mushaf yang asli kepada Hafshah dan mengirim mushaf yang sudah di tertibkan bacaannya ke segala tempat; Mekkah, Syam, Bashrah, Kufah, dan Madinah. Dan penulisan Mushaf Utsmaniy seperti yang kita lihat sekarang ini berakhir pada tahun 25 H.
Apa yang di lakukan oleh Utsman bukanlah penulisan Al-Qur’an atau pengumpulan bacaannya – karena penulisannya telah selesai pada zaman Nabi dan pengumpulannya ke dalam satu Mushaf selesai pada masa Abu Bakar – tetapi penertiban bacaan Al-Qur’an untuk menhindari perselisihan pendapat di kalangan umat Islam.

II.B.2. AL-HADITS
Berbeda dengan Al-Qur’an, Al-Sunnah pada periode ini sama sekali belum di kumpulkan dan di bukukan. Sebenarnya pada masa kholifah kedua, Umar ibn al-Khaththab sempat memikirkan untuk membukukannya, namun setelah di musyawarahkan dengan para sahabat yang lain, hal itu tidak jadi di realisasikan, karena takut akan tercampur dengan Al-Qur’an. Begitulah , sampai akhir abad I H. Sunnah belum di bukukan, kecuali milik pribadi Abdullah bin Amr bin Ash, yang beliau riwayatkan sendiri hadits-haditsnya dari Rosulullah.
Meskipun as-Sunnah belum di bukukan sama sekali, namun para sahabat sangat berhati-hati dalam mengambil suatu hadits untuk menentukan hukum. Konon Abu bakar tidak menerima hadits kecuali di perkuat oleh seorang saksi, sedangkan Umar meminta kepada pe-rowi hadits untuk memberikan bukti atau saksi, dan Ali selalu menyumpah rowi dalam menyeleksi hadits.
Sebagai contoh : Ada seorang wanita tua datang kepada Abu Bakar menanyakan tentang harta warisan. “Dalam Al-Qur’an dan Sunnah anda tidak memperoleh apa-apa,” Kata Abu Bakar. Mughiroh bin Sya’bah, seorang sahabat terkemuka yang saat itu tidak hadir, pernah mendengar Nabi bersabda bahwa seperti orang itu mestinya mendapat seperenam. Ia bergegas menemui Abu Bakar. “siapa saja yang bersama kamu dan bisa menjadi saksi bahwa Nabi Muhammad saw. pernah bersabda: “Berilah seorang nenek seperenam dari harta warisan”?” tanya Abu Bakar. Kemudian Muhammad bin Maslamah memberi kesaksian terhadap kebenaran hadits itu. Dan itulah yang menjadi putusan Abu Bakar.
Jika kita telusuri lebih jauh, ketatnya periwayatan hadits ini di sebabkan dua alasan :
Pertama, kekhawatiran akan adanya kesalahan atau penyelewengan, karena lupa misalnya, atau kesalahan dalam menyampaikan riwayat.
Kedua, kekhawatiran akan masuknya kabar bohong kedalam hadits yang di lakukan oleh orang-orang yang secara sengaja ingin merusak islam dari dalam.
Tetapi ketatnya penyeleksian hadits ini tak dapat menggantikan kedudukan pembukuan, dan akhirnya juga menimbulkan beberapa persoalan:
Pertama: Hal tersebut mengharuskan Ulama untuk mengerahkan kemampuannya dalam meneliti para pe-rowi hadits dan juga membagi hadits - berdasarkan para rowinya- menjadi hadits qoth’iyyatul wurud dan dzonniyyatul wurud, sedangkan dzonniyyah sendiri terbagi menjadi shohih, hasan, dan dlo’if.
Kedua: hal tersebut, mengakibatkan tidak bersatunya umat Islam dalam satu acuan pedoman terhadap hadits, - sebagaimana yang terjadi pada Al-Qur’an, - dan bisa mengakibatkan celah terhadap perubahan, penambahan, maupun pengurangan hadits – baik di sengaja atau tidak – yang pada akhirnya bisa menimbulkan perbedaan di dalam kehujjahan hadits itu sendiri dan perbedaan ulama yamg menggunakan suatu hadits.

II.B.3. IJTIHAD
Selain Al-qur’an dan Sunnah, ijtihad mulai menjadi rujukan fuqoha pada periode ini. Perluasan wilayah Islam telah mendatangkan masalah baru yang belum muncul sebelumnya. Tetapi, jika kita telusuri lebih jauh, kebutuhan untuk melakukan ijtihad itu tidak semata-mata untuk menjawab masalah baru yagn muncul, namun juga untuk memahami nash yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, sebagaimana nanti akan di lihat dalam contoh. Yang sudah jelas intentsitas ijtihad sahabat mendapat tempat tersendiri dalam fiqh. Maksudnya, kendatipun ijtihad itu membuka ruang ikhtilaf, tapi karena sering di lakukan secara bersama dan musyawarah, apalagi saat itu para sahabat belum tersebar luas, ijtihad sahabat banyak mendatangkan suatu “kesepakatan umum dari suatu generasi” atau ijma’.
Patut di catat dalam kesempatan ini, sikap para sahabat terhadap perbedan pendapat. Saat itu perbedaan pendapat di anggap suatu hal yang wajar dan di kembangkan. Tidak ada sahabat yang memaksakan pendapatnya pada orang lain. Pada suatu saat ada seseorang datang kepada umar dan memberitahukan bahwa Ali bin Thalib dan Zaid telah memutuskan persoalan yang ia hadapi. “jika saya , tentu akan saya putuskan yang lain”, kata Umar. “siapa yang melarang anda, sedangkan persoalan ini memang akan laporkan kepada anda?” kata orang itu menimpali. Umar menjawab : “kalau saja saya dapat merujukkan persoalan yang kamu hadapi pada Al-Qur’an dan Sunnah niscaya saya melakukannya. Tetapi saya tahu bahwa ini sekedar pendapat, dan pendapat itu milik semua orang.”
Seorang penulis pernah menyamakan antara pendapat Umar dan ketentuan Allah. Umar marah. “Pernyataan kamu ini sangat menyesatkan,” kata Umar. Ini pendapat Umar, "apabila benar, itu dari Allah dan bila salah dari Umar sendiri. Kebenarna itu hanya datang dari Allah dan Rasul-Nya, maka jangan jadikan suatu pendapat sebagai sunnah bagi umat.” Demikian tradisi ikhtilaf pada masa sahabat. Abu Bakar setiap kali menjelaskan suatu persoalan yang tidak ada nash hukumnny dalam Al-Qur’an dan Sunnah selalu menambahi dengan pernyataan : “ini pendapatku, jika benar, itu dari Allah, tetapi jika salah, itu dari pribadi saya sendiri”.
Kebebasan berpendapat ini, tanpa tendensi untuk kepentingan pribadi atau kelompok, telah melahirkan suatu kekuatan moral Islam yang secara sungguh-sungguh berusaha melihat relevansi Islam dengan persoalan-persoalan yang terus berkembang dan senantiasa meminta etika dan paradigma baru. Contoh berikut ini akan semakin memberikan gambaran yang jelas tentang pernyataan di atas. Sebagai contoh, yaitu tentang ‘iddah wanita yang di talaq suaminya. Kapan ‘iddah wanita yang di talaq suaminya akan berakhir? Menurut ibnu Mas’ud dan Umar ibn Khaththab, ‘iddahnya berakhir ketika ia mandi dari haid yang ketiga setelah talaq. Pendapat Zaid bin Tsabit lain. Menurut Zaid, wanita itu boleh menikah setelah memasuki haid yang ketiga. Apabila di telusuri, ternyata ikhtilaf ini merujuk pada pengertian quru' dalam firman-Nya: “ Perempuan-perempuan yang di talaq menunggu tiga kali quru’” (QS: 2:28). Ibnu Mas’ud dan Umar berpendapat quru’ itu berarti haid, karenanya iddah wanita berakhir ketika haid yang ketiga. Zaid menafsirkan quru’ dengan bersih yang berarti bahwa iddahnya akan berakhir ketika mamasuki haid yang ketiga. Ikhtilaf ini lebih jauh dapat di pahami karena dalam bahasa Arab quru’ dapat berarti “bersih” dan “haid”.
Yang dapat kita lihat dari beberapa ijtihad sahabat – di antaranya seperti contoh di atas – adanya runag lingkup ijtihad yang cukup luas. Para sahabat tidak menyikapi hukum-hukum secara ideal yang terlepas dari konteks sosial, akan tetapi dimensi sosial itu telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal Islam terhadap berbagai persoalan yang berkembang. Interpretasi terhadap nash (seperti pneggunaan teori illah yang di lakukan Utsman), adalah contoh nyata betapa sahabat secara sungguh-sungguh berusaha memahami maqashid tasyri’ (tujuan-tujuan syari’at) dari suatu penerapan hukum.
Utsman, misalnya, berkesimpulan bahwa di biarkannya unta-unta berkeliaran pada masa Nabi karena kondisi saat itu aman. Jadi, kerangka penerapan hukum ini dengan sendirinya menuntut adanya “situasi aman” sehingga memungkinkan unta-unta itu menjumpai pemiliknya. Kerangka teori ini kemudian di kembangkan dan di rumuskan oleh para ahli metodologi Islam dalam kaidah: al hukmu yaduru ma’al ‘illah wujudan wa ‘adaman.
Bahkan pengamatan yang lebih mendalam akan membuktikan bahwa rumusan para fuqoha dan mujtahidin pada tahun-tahun pertengahan mengacu pada kerangka dan ruang ijtihad para sahabat. Qiyas, maslahah mursalah, istihsan dan kaidah-kaidah fiqhiyah lainnya mendapat justifikasi dari ijtihad sahabat. Dengan kata lain tradisi ikhtilaf para sahabat mengacu pada kerangka acuan istidlal, suatu proses ijtihad yang memperkaya tsarwah fiqhiyyah dalam sejarah perkembangannya.

II.C. METODE TSYRI’ DAN SEBAB-SEBAB IKHTILAF PARA SAHABAT
Metode sahabat dalam menentuan hukum pada peiode ini yaitu dengan menujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah terlebih dahulu. Apabila mereka menemukan suatu ayat atau hadits yang memberikan indikasi terhadap suatu hukum, maka mereka akan memfokuskan perhatian mereka terhadap kandungan nash tersebut, sehingga bisa di ketahui apa kandungan nash tersebut, yang kemudian di aktualisasikan terhadap permasalahan yang terjadi. Namun apabila mereka tidak menemukan di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, maka mereka akan berijtihad sesuai dengan kemampuan mereka yang sudah terbentuk karena lamanya hidup bersama Rosulullah, dan secara langsung melihat bagaimana beliau berijtihad. Maka terkadang mereka mengkiaskan suatu permasalahan yang belum ada nashnya dengan permasalahan yang sudah ada nashnya dan terkadang juga mereka mempertimbangkan kemaslahatan umat.
Pada masa kholifah Abu Bakar dan Umar, ijtihad masih sering di lakukan dangan cara bersama-sama (ijtihad jama’i) dalam sebuah forum yang terdiri dari para tokoh sahabat. Dan hukum yang di hasilkan melalui forum ini di namakan ijma’. Pada saat itu jarang sekali terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, masing-masing dari mereka salimg memaparkan pendapatnya dari berbagai sudut pandang serta dalil-dalinya di hadapan sahabat yang lain.
Namun setelah wilayah Islam meluas dan para sahabt tersebar di berbagai daerah kekuasaan, sehingga sulit bagi kholifah Madinah untuk mengumpulkan mereka. Dari sinilah bibit perbedaan pendapat di kalangan sahabat mulai tumbuh. Hali ini, kalau kita cermati karena beberapa sebab, antara lain:
1. Perbedaan dalam memahami nash Al-Qur’an dan hadits.
2. Munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash yang berlawanan.
3. Perbedaan kaidah metode dan ijtihad dari para fuqoha.
4. Kebebasan dan kesungguhan para fuqoha dalam melakukan ijtihad.
5. Kebanyakan nash-nash Al-Qur’an bukanlah qoth’iyyatul dalalah akan tetapi merupakan dhonniyatul dalalah
6. Bahwa Sunnah belum di kodifikasikan dan belum di kumpulkan sama sekali dalam satu wadah rujukan serta belum tersebar luas di kalangan muslim, akan tetapi masih tersebar di hati para sahabat dari mulut ke mulut. Oleh karena itu, terkadang satu Hadits di ketahui ulama di Mesir, tetapi tidak dio ketahui oleh ulama yang berada di Damaskus dan lainnya.
7. Perbedaan kondisi ligkungan, kemaslahatan dan kebutuhan masing-masing daerah.
Dari ketiga sebab di atas, mulai muncul perbedaan fatwa terhadap satu masalah yang sama namun masing-masing mempunyai sudut pandang dan dalil sendiri.



II.E. AKHIR PERIODE INI
Ada tiga poin yang dapat kita perhatikan dari masa sahabat ini
1. Sahabat mewariskan beberapa pokok penjelasan undang terhadap nash al-Qur’an dan Hadits.
2. Beberapa fatwa-fatwa ijtihad yang bersumber dari sahabat dalam memutuskan masalah aktual yang terjadi yang tidak ada nashnya.
3. Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa tiga besar. Ini bermula dari terbunuhnya kholifah Utsman bin Affan, berlanjut dengan pengangkatan kholifah Ali bin Abi Thalib, namun kemudian di lengserkan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, sehingga terjadilah perang antara kedua belah pihak. Kemudian klimaksnya terjadilah apa yang kita kenal dengan peristiwa tahkim. Tiga golongan besar tersebut adalah
a. Syi’ah yaitu orang-orang yang tetap mencintai Ali dan keluarganya.
b. Khowrij yaitu orang-orang yang dendam atas Utsman, Ali dan Mu’awiyah seluruhnya.
c. Ahlussunnah wal jama’ah yaitu orang-orang yang bisa menerima dan ridho terhadap Mu’awiyah dan penerintahannya. Golongan ini adalah terbanyak pengikutnya.
Masing-masing tiga golongan ini membawa pengaruh khusus dalam pembinaan hukum Islam, karena Khowarij tidak mau mengambil hukum yang bersumber dari hadits yang di riwayatkan oleh Utsman, Ali, Mu’awiyah maupaun oleh orang menolong salah satu dari mereka, dan mereka menolak semua hadits, pendapat, dan fatwa yang bersumber dari mereka. Mereka lebih memilih apa yang bersumber dari orang yang mereka ridhoi , oleh karena itu mereka mempunyai fiqh sendiri. Begitupun Syi’ah, mereka bersikukuh terhadap pendapatnya sendiri tanpa mau mengakui pendapat orang lain. Sedangkan Ahlussunnah agak sedikit lebih moderat. Mereka mau menerima hadits dari siapa saja asalkan memenuhi persyaratan perowi hadits dan mau menerima pendapat ulama lain setelah di seleksi dan di tafsil. Semua ini akan tampak nyata dalam periode berikutnya.



III. KESIMPULAN
Sebagaimana yang telah di gambarkan di atas, fiqh periode Khulafaur Rosyidin ini sangat hidup dan semarak, juga sebagai fondasi dari fiqh sepanjang masa. Beberapa ikhtilaf mulai muncul, meskipun kecil di banding periode berikutnya, seiring dengan perkem-bangan fiqh itu sendiri. Selain pembukuan Al-Qur'an dan periwayatan hadits yang sangat ketat, pada periode ini ijtihad seringkali di lakukan secara jama’i sehingga ruang ijtihad yang begitu luas itu jarang menimbulkan ikhtilaf.
Yang perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah belum di tulis seperti juga Sunnah. Kendati demikian, kita mulai dapat mengklasifikasikan kaidah-kaidah ushuliyah dan metode ijtihad yang di gunakan oleh fuqoha sahabat dalam melakukan ijtihad. Dalam banyak hal, fatwa-fatwa dan masail fiqhiyah itu memang masih bercampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah istidlal. Pada periode ini juga mulai muncul beberapa aliran besar dalam Islam, seperti: Ahlusssunnah wal Jama'ah, Syi'ah, dan Khowarij.













Referensi:
1. Bik, Hudlori, Tarikhut Tasyri’ Al-Islami, Terjemah, Darul Ihya
2. Kholaf , Abdul Wahhab, Ilmu Ushulil Fiqh, Darul Fikr
3. A. Sirry, Mun’im Sejarah Fiqh Islam. Risalan Gusti

PEMBELAJARAN ILMU HADIST

PEMBELAJARAN ILMU HADIST



I.  Latar Belakang
            Sebagai sebuah lembaga pendidikan informal, pesantren memiliki karakteristik unik yang mungkin tidak dimiliki berbagai lembaga pendidikan yang lain. Mulai dari bahan ajar yang diberikan sampai dengan sistem dan gaya pembelajaran yang disampaikan. Hal tersebut tidaklah aneh mengingat mayoritas pesantren telah berdiri sejak zaman dahulu dan pendidikan yang diajarkan terfokus pada ilmu-ilmu keagamaan. Belum lagi pesantren yang menutup diri dari dunia luar dan tetap mempertahankan sistem serta metode belajar yang telah ada sejak dahulu kala ketika pesantren didirikan.  Imbasnya banyak lulusan pesantren yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan dan problematika masyarakat yang semakin kompleks, terutama yang berkaitan dengan bidang keagamaan yang sebenarnya merupakan fokus keahlian mereka. Pada akhirnya, pesantren pada saat ini dipandang merupakan suatu lembaga pendidikan yang berstatus pinggiran dan hanya menjadi alternatif terakhir bagi penuntut ilmu.
             Memperhatikan fenomena masyarakat pada saat ini, kiranya akan lebih baik apabila pesantren bersedia berbenah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan yang akan dihadapi oleh peserta didik ketika telah menyelesaikan pendidikannya dan kembali ke tengah masyarakat.
            Dalam makalah ini, penulis akan mencoba mengupas tentang salah satu bahan ajar di pesantren Lirboyo Kediri-almameter penulis-, yaitu bidang studi ilmu hadist. Di sini akan disampaikan berbagai variabel yang berkaitan dengan bidang studi tersebut, diantaranya kondisi pembelajaran,metode yang diterapkan dan lain sebagainya. Apa yang akan penulis sampaikan semuanya berdasarkan pengalaman penulis ketika mendalami bidang studi tersebut. Alasan penulis mengupas bidang studi ini adalah melihat keprihatinan penulis pada lulusan pesantren yang kurang mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi dalam masyarakat di sekitarnya, terutama yang berhubungan dengan bidang hadist. Sangat jarang santri yang mampu menjawab ketika ditanya tentang keshahihan suatu hadist, terlebih untuk membuktikannya dan lain sebagainya. Padahal masyarakat saat ini sangat rasionalis dan kritis yang tidak akan cukup menerima suatu penjelasan tanpa ada dasar dan bukti yang kuat. Harapan penulis semoga tulisan ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pesantren dalam rangka pembenahan dan perbaikan agar pesantren dapat eksis dan mampu menghadapi segala tatangan zaman. Sehingga pada akhirnya, pesantren tetap merupakan sebuah lembaga pendidikan yang diminati dan diharapkan lulusannya mampu menjawab apapun problematika kehidupan masyarakat yang terjadi dengan keilmuan yang dimilikinya.

II.i  Kondisi Pembelajaran
   A.  Tujuan Pembelajaran 
            Berdasarkan pengamatan penulis dan hasil wawancara dengan para ustadz di Lirboyo, pembelajaran di lirboyo yang dimanifestasikan melalui Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien (MHM) belum mempunyai tujuan pembelajaran yang pasti. Sebagai pelaksana pendidikan di Lirboyo, MHM belum pernah merumuskan tujuan pembelajaran yang dijalankannya. Secara umum tujuan pembelajaran yang dilaksanakan adalah agar peserta didik (baca;santri) mampu memahami dan mengerti ilmu agama. Tidak adanya tujuan pembelajaran yang konkrit tersebut tidak lepas dari awal mula adanya pembelajaran di Lirboyo, yaitu implementasi dari pesan pengasuh pada saat itu bahwa “santri kang durung iso moco lan nulis kudu ngaji (santri yang belum bisa membaca dan menulis harus bersekolah)”. Bahkan hingga saat ini, hampir seluruh asatidz tidak akan mampu menjawab secara pasti apabila ditanyakan tentang tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Jawaban yang muncul maksimal hanya berkisar pada bahwa mereka mengajar untuk melaksanakan khidmah (pengabdian) pada pesantren dan yang penting agar siswa bisa dan mengerti materi yang mereka ajarkan.
            Hal tersebut berlaku pada semua bidang studi, termasuk diantaranya bidang studi ilmu hadist. Tujuan mata pelajaran ilmu hadits di pesantren Lirboyo juga belum terumuskan dengan baik. Hal ini dikarenakan di Lirboyo lebih menekankan pada pembelajaran nahwu sharaf (gramatika) dan  fiqh. Sehingga hadist kurang mendapatkan perhatian yang cukup, baik dari pengelola pesantren maupun dari peserta didik. Tujuan adanya pembelajaran ilmu hadist seakan-akan tak lebih dari agar santri mengenal dan mengetahui berbagai macam hadist, terutama yang berhubungan dengan amal ibadah.

   B. Karakteristik Bidang Studi
   Ilmu hadist merupakan suatu bentuk metodologi guna memahami dan menganalisa sebuah hadist. Karakteristik materi ini terdiri dari beberapa kajian antara lain: tinjauan hadits dari segi kualitas, kuantitas, ketsiqahan rawi, sampai kepada praktek takhrij al-Hadits (penelitian hadits).  
   C. Karakteristik Siswa
Di pesantren Lirboyo, peserta didik diklasifikasikan berdasarkan kemampuan. Dengan kata lain siswa tidak dibedakan berdasarkan tingkatan usia. Kendala yang paling sering muncul dari klasifikasi model ini adalah beban psikologis karena perbedaan umur yang terkadang terlalu mencolok dan status santri di pesantren (santri ndalem/nduduk[1] dengan santri biasa dan santri pondok induk dengan santri pondok unit.).
   D. Kendala - Kendala
            Kurang berhasilnya pembelajaran bidang studi  ilmu hadist di pesantren Lirboyo tidak terlepas dari beberapa kendala yang ada. Faktor pertama dan mungkin yang terutama adalah kurangnya perhatian dari pengelola madrasah pada bidang studi tersebut. Sehingga seakan-akan asumsi yang muncul adalah bidang studi tersebut hanya sebagai pelengkap saja. Faktor ke-dua adalah alokasi waktu yang disediakan hanya satu kali dalam seminggu selama + 1 jam dalam dua tahun. Faktor ketiga adalah dalam tataran personal yang dalam hal ini adalah kurangnya SDM (baca;pengajar) yang mumpuni. Sistematika pembelajaran di Lirboyo yang tidak memfokuskan atau kurang memberikan perhatian serius pada ilmu hadist menjadikan sangat jarang atau bahkan mungkin tidak ada pengajar yang benar-benar ahli di bidang itu. Sehingga siswa yang berminat pada bidang studi inipun juga sangat sedikit. Padahal materi dan media yang dibutuhkan menurut penulis tersedia sangat lengkap di Lirboyo, baik kitab-kitab rujukan maupun lainnya.



II.ii  Variabel Metode
   A. Pengorganisasian
            Hal-hal yang berkaitan dengan pengorganisasian atau pemilihan materi yang diberikan belum terdeskiripsikan dengan baik di Pesantren Lirboyo. Pengorganisasian yang ada  hanya mengikuti sistematika yang sudah ada dalam setiap kitab hadist yang diajarkan. Hal tersebut tidak terlepas dari asumsi yang berkembang bahwa materi yang terdapat dalam kitab telah disusun dengan sedemikian baiknya oleh muallif al-Kitab (penyusun kitab), sehaingga tidak memerlukan perubahan lagi.  Penyeleksian yang dilakukan sebatas pada tingkatan kelas di mana materi tersebut diajarkan.  Belum ada sistesis (penggabungan materi) yang dilakukan, sebab baik ustadz maupun siswa hanya mempergunakan satu referensi/kitab saja. Sedangkan summary (rangkuman) telah dilaksanakan melalui ustadz ketika mengajar kelas.
   B. Penyampaian
            Metode penyampaian pelajaran yang dilaksanakan di Lirboyo ada berbagai macam, diantaranya yaitu: bandongan (guru membaca dan murid menyimak), sorogan (murid membaca dan baca guru menyimak), hafalan dan musyawarah (diskusi) yang kesemuanya diintegrasikan dalam sistem klasikal. Khusus ilmu hadits, metode yang dipergunakan adalah dengan menggunakan metode bandongan dan musyawarah. Metode bandongan dilaksanakan ketika di kelas, sedangkan diskusi dilaksanakan pada waktu musyawarah[2].  Meski demikian, karena berbagai kendala sebagaimana yang diutarakan di atas, analisa dan kajian terhadap materi ilmu hadist kurang dilakukan secara mendalam sehingga terkesan monoton dan membosankan. Bahkan sistem takhrij al-hadist (penelitian hadist) dengan mengadakan penelitian secara langsung  terhadap suatu hadist sama sekali tidak dilakukan.
C.    Pengelolaan
Materi ilmu hadist di pesantren Lirboyo mulai diajarkan pada tingkat tsanawiyah, tepatnya yaitu pada kelas II dan III Tsn. Maksud penyampaian pada tingkat Tsanawiyah ini berdasarkan pandangan bahwa pada tingkat tersebut siswa dianggap telah memilki bekal kemampuan keilmuan yang cukup, baik dari segi kemampuan gramatikal, akidah maupun lainnya sehingga sudah saatnya mempelajari materi yang cukup tinggi dan sulit. Diharapkan dengan bekal kemampuan gramatikal telah dimiliki[3], siswa dapat menelaah lebih jauh materi dengan merujuk pada kitab-kitab lainnya di perpustakaan.
Adapun bobot dan kedalaman materi yang diberikan disesuaikan dengan tingkatan kelas masing-masing. Singkat kata, semakin tinggi tingkat kelas yang diduduki maka semakin tinggi pula bobot dan kedalaman materi yang diberikan. Kitab yang dipergunakan dalam pembelajaran ilmu hadist di Lirboyo berdasarkan tingkatan kelas adalah sbb:
No.
Kelas
Kitab yang dipelajari
1.
Al-Baiquniyah
II Tsanawiyah
2.
Ulum Takhrij al-Hadist
III Tsanawiyah
Masing-masing kitab di atas diajarkan selama satu tahun dengan ketentuan satu kali dalam seminggu.
  
II.iii Variabel Hasil Belajar
Sebagai bahan evaluasi guna mengetahui hasil pembelajaran yang telah dilakukan, MHM melaksanakan ujian yang dilakukan secara berkala. Ujian tersebut dilaksanakan pada malam senin setiap minggunya. Adapun materi yang diujikan hanya satu mata pelajaran yang digilir secara berurutan. Dengan adanya ujian ini diharapkan dapat diketahui seberapa jauh hasil yang telah dicapai oleh para santri/siswa dalam menangkap pelajaran yang diberikan. Selain ujian mingguan, juga diadakan evaluasi  per semester/tiap setengah tahun sekali selama satu minggu penuh dengan materi ujian seluruh materi yang diajarkan pada tiap-tiap tingkatan.
         Khusus pada hasil pembelajaran ilmu hadist di pesantren Lirboyo sampai saat ini belum mencapai hasil maksimal, indikatornya ketidakberhasilan tersebut adalah sebagai berikut:
§ Minimnya kemampuan siswa dalam penguasaan materi ini secara umum.
§ Tidak adanya daya tarik santri untuk mempelajari materi ini secara mendalam dan komprehensif.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa efektifitas dan efisiensi pembelajaran ilmu hadist di pesantren Lirboyo jelas sangat kurang. Terlebih apabila penyampaian tetap dilaksanakan dengan sistem bandongan dan musyawarah saja. Bidang study ini akan lebih efektif, efisien dan memiliki daya tarik lebih serta bagi siswa apabila lebih diarahkan pada analisis dalam aplikasi bahan ajar, terutama latihan penelitian hadist dan fungsi atau kegunaan menguasai bidang ilmu tersebut.

II.iv Opini dan Saran
Bidang studi ilmu hadist merupakan sebuah bidang studi yang sangat penting. Urgenitas dari bidang studi ini adalah fakta bahwa al-Hadist merupakan sumber primer kemudian-dua setelah al-Quran dalam perumusan hukum syari’at. Oleh karena itu, penulis memandang sangat penting bagi pesantren untuk memberikan perhatian lebih pada bidang studi ini. Terlebih mengingat realitas masyarakat pada saat ini yang semakin kritis dan rasionalis. Mereka tidak akan menerima sebuah keterangan tentang hukum syari’at tanpa adanya dasar dan pegangan yang kuat. Artinya, selain mendalami hukum-hukum fiqh yang merupakan hukum furu’ (cabang), santri juga harus dibekali dengan kemampuan untuk mentahkrij hadist yang notabene merupakan asal (pokoknya). Sehingga pada akhirnya santri tidak saja mahir berbicara tentang hukum, namun juga mampu menampilkan alasan serta dasar atas adanya hukum tersebut.
Berdasarkan beberapa variabel di atas penulis melihat masih banyak kekurangan yang memerlukan pembenahan-pembenahan dari pihak pesantren, terutama MHM sebagai pelaksana pembelajaran di pesantren Lirboyo. Apalagi ada beberapa faktor yang sangat menunjang MHM untuk melakukan berbagai perbaikan tersebut. Faktor-faktor yang penulis maksud diantaranya adalah keseriusan santri dan ustadz dalam menimba ilmu di pesantren, tingkat efektifitas kehadiran siswa di kelas yang tinggi dan tersedianya media dan materi yang cukup lengkap. Adapun terkait dengan kekuranga-kekurangan yang ada, penulis memberikan bahan masukan sebagai berikut:
01.  Perlunya dirumuskan tujuan pembelajaran yang konkrit baik secara umum (seluruh bidang studi) maupun khusus (per bidang studi).
02.  Merumuskan metode yang paling tepat untuk penyampaian materi ilmu hadits. Dalam hal ini penulis menyarankan agar diperbanyak kajian analisis dan penelitian secara langsung. Sehingga diharapkan nantinya santri Lirboyo tidak hanya bisa berbicara masalah hukum (fiqh) saja, akan tetapi juga mampu mengidentifikasi prudok-produk hukum yang telah ada lengkap dengan dasar hukumnya, terutama hadist. Selain juga agar santri mampu memecahkan problematika masyarakat tentang hukum syar’iat terkait segala perubahan zaman yang terjadi dengan dasar yang benar-benar valid dan dapat dipertangungjawabkan.
03.   Memotivasi para santri untuk mempelajari hadits secara mendalam dan komprehensif, mengingat hadist merupakan salah satu sumber hukum islam primer.
04.  Penambahan alokasi waktu pembelajaran bidang studi ilmu hadist. Hal ini sangat penting mengingat sebaik apapun sistem pembelajaran yang dilaksanakan, kalau waktunya kurang maka hampir dapat dipastikan hasilnya pun kurang maksimal.
05.  Meningkatkan SDM para guru dalam bidang hadits, bahkan dengan mendatangkan guru dari luar pesantren kalau dipandang perlu. Hal ini sebagaimana pada pembelajaran materi bidang falaq (astronomi) yang mengambil tenaga pengajar dari luar.
III. Penutup
            Sebagai penutup, penulis berharap semoga tulisan ini dapat menjadi sumbangsih penulis bagi almameter serta memberikan guna dan manfaat, terutama bagi pesantren Lirboyo demi kemajuan di masa mendatang. Pada akhirnya penulis haturkan terima kasih kepada DR. Sulthon atas segala bimbingan dan arahannya, semoga hal tersebut dicatat sebagai amal shalih dan mendapatkan balasan yang berlimpah dari Allah SWT. Amin


[1] Santri ndalem adalah santri yang mengabdi dengan cara membantu di keluarga Kyai. Adapun santri nduduk adalah santri yang tidak emnetap di pesantren (pulang-pergi dari rumah).
[2] Selain sekolah, seluruh siswa di Lirboyo diwajibkan mengikuti musyawarah yang dilakukan di luar jam sekolah guna memperdalam pemahaman atas materi yang telah diajarkan.
[3] Kemampuan gramatika Arab dipandang merupakan kunci keberhasilan siswa dalam mempelajari kitab kuning yang merupakan bahan ajar pokok di pesantren.

Filsafat Islam

FILSAFAT ISLAM

 

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
1.2 Rumasan Masalah
1.2.1 Apakah definisi dari filsafat islam ?
1.2.2 Bagaimanakah sejarah dari filsafat islam ?
1.2.3 Apakah tujuan dan manfaat mempelajari filsafat islam ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui definisi dari filsafat islam
1.3.2 Mengetahui sejarah dari filsafat islam
1.3.3 Mengetahui tujuan dan manfaat mempelajari filsafat islam

 

 

 

 

 

 

 

 

FILSAFAT ISLAM

 

2.1 Definisi Filsafat Islam

Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Sedangkan menurut Ahmad Furrad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.

Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutamu kedokteran dikala umat islam.

Pembahasan mengenai hal tersebut ada masalah yang dihadapi yaitu apakah filsafat itu bercorak Islam atau bercorak Arab.

Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.
Seusai upacara pembukaan Universitas Mesir, seorang ahli masalah ketimuran (Orientalis) Prof. Nellinuo memberikan ceramah tentang sejarah Ilmu Falak (Astronomi) di kalangan orang Arab. Dalam kesempatan itu ia menampilkan tentang penamaan tersebut dan mengupas beberapa tesis yang dibicarakan para ahli filsafat Islam dari kedua belah pihak (yaitu yang memberi nama Filsafat Islam dan yang memberi nama Filsafat Arab). Antara lain ia mengatakan sebagai berikut: “Setiap pembicaraan mengenai masa jahiliyah, atau masa awal kelahiran Islam, makna sesungguhnya dan yang wajar dari kata-kata “Arab” tidak diragukan lagi menunjuk pada suatu bangsa yang bermukim di daerah Semenanjung yang dikenal dengan nama ‘Jazirah Arabiah’. Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih ke abad-abad berikutnya mulai abad pertama Hijriyah kata “Arab” berubah menjadi suatu istilah yang maknanya ialah segala bangsa dan rakyat yang bermukim di seluruh wilayah kerajaan Islam, yang pada umumnya menggunakan Bahasa Arab dalam menulis buku-buku ilmiah. Dengan demikian istilah “Arab” mencakup orang Persia, India, Turki, Suriah, Mesir, Barbar (Barbar = penduduk Afrika Utara) Andalusia dan lain-lain. Yaitu orang dari berbagai kebangsaan yang menulis buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, Jika tidak menyebut mereka dengan “Arab”, sukar sekali untuk berbicara tentang Ilmu Falak, karena sangat sedikit putera Qathan dan ‘Adnan) yang memiliki kecerdasan berpikir. Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa Nellinou menitikberatkan pendapatnya pada bahasa. Karena itu ia mengatakan ilmu tersebut (filsafat) oleh orang-orang Arab diartikan ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab.

2.2 Sejarah Filsafat Islam

Sejarah singkat timbulnya Filsafat Islam. Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun Arrasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.
Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.'
Filsafat Islam muncul sebagai imbas dari gerakan penerjemahan besar-besaran dari buku-buku peradapan Yunani dan peradaban-peradaban lainnya pada masa kejayaan Daulah Abbasiah, dimana pemerintahan yang berkuasa waktu itu memberikan sokongan penuh terhadap gerakan penerjemahan ini, sehingga para ulama bersemangat untuk melakukan penerjemahan dari berbagai macam keilmuan yang dimiliki peradaban Yunani kedalam bahasa Arab, dan prestasi yang paling gemilang dari gerakan ini adalah ketika para ulama berhasil menerjemahkan ilmu filsafat yang mejadi maskot dari peradaban Yunani waktu itu, baik filsafat Plato, Aristoteles, maupun yang lainnya. Sebenarnya gerakan penerjemahan ini dimulai semenjak masa Daulah Umawiyyah atas perintah dari Khalid bin Yazid Al-Umawî untuk menerjemahkan buku-buku kedokteran, kimia dan geometria dari Yunani, akan tetapi para Ahli Sejarah lebih condong bahwa gerakan ini benar-benar dilaksanakan pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah saja, dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Al-Manshur (136-158 H) hingga masa pamerintahan AL-Ma'mun (198-218 H) , dimana penerjemahan ini tidak terbatas pada beberapa bidang keilmuan saja,akan tetapi meliputi berbagai cabang keilmuan sehingga kita bisa melihat lahirnya para ilmuan besar pada masa ini, contohnya Al-Kindi (155-256 H) seorang filosof besar yang menguasai beraneka bidang keilmuan, seperti matematika, astronomi, musik, geometri, kedokteran dan politik, disamping nama-nama besar yang muncul setelahnya, sebut saja Ar-Razi, Ibn Sina (370-428 H), Al-Farabi (359-438 H) dan yang lainnya .
Sebagaimana kajian Islam mengambil berbagai tema untuk bahan kajian tentang logika, etika, politik, metafisika dan lainnya, yang telah lebih dulu dikaji oleh bangsa Yunani, sehingga sangat dimungkinkan bahwa kajian-kajian filsafat islam dalam tema-tema ini dipengaruhi oleh filsafat Yunani, akan tetapi sesungguhnya filsafat Islam dalam beberapa sisi secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dari filsafat Yunani. Filsafat Islam bukanlah filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab ataupun filsafat Platonisme. Hal tersebut dapat dibuktikan dari upaya ahli kalam dari kelompok Mu'tazilah maupun Asyâ’irah untuk menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang rasional, bahwa akal merupakan unsur penting dalam agama ini, sehingga mereka membungkus filsafat dalam baju keagamaan, dan dari situ mereka memahami agama Islam dengan corak filosofis. Akan tetapi selanjutnya keinginan para filosof Islam untuk memperlihatkan agama Islam dalam suatu gambaran rasional menyebabkan mereka menafsirkan sebagian persoalan ke-islam-an yang bersifat ideologis (akidah) dengan teori-teori filsafat, hal ini oleh sebagian umat islam dipandang menyalahi cara berpikir dan akidah agama Islam, maka mulailah mereka mewaspadai dan mengkritik para filosof Islam tersebut.

2.3 Tujuan dan Manfaat Mempelajari Filsafat Islam

Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan.

Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :

1.      Dapat menolong dan menididik, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan.

Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan.

Filsafat Ilmu


PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang

Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat.Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, banyak persoalan filsafat sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah.
Berdasarkan permasalahan yang ada, maka penulisan ini akan difokuskan pada pembahasan tentang ‘‘LANDASAN PENELAAHAN ILMU’’.
.
  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas terdapat beberapa rumasan masalah sebagai berikut :
1)      Apa definisi ilmu ?
2)      Apa yang menjadi landasan penelaahan ilmu ?
3)      Apa hubungan dan manfaat dari landasan ilmu ?

  1. Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk :
1)      Mengetahui definisi ilmu
2)      Mengetahui landasan penelaahan ilmu
3)      Mengetahui hubungan dan manfaat landasan penelaahan ilmu

II
PEMBAHASAN


  1. Definisi Ilmu

Bila kita menengok pendapat Al-Ghozali dan Descartes, ilmu yang riil
harus benar-benar bisa memastikan jalan di hadapan semua keraguan. Kita kutip ucapan Al-Ghozali mengenai hal ini : “Ilmu yakin adalah ilmu yang menyingkapkan sesuatu yang diketahui secara jelas, sehingga tiada ruangan lagi untuk keraguan, kesalahan atau kekeliruan.”[1]
            Etos ilmu itu telah menumbuhkan proses belajar-mengajar yang pada giliranya menimbulkan perkembangangan ilmu dalam berbagai cabangnya. Berbagai ilmu itu telah menjadi pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, ilmu telah menjadi salah satu unsur kebudayaan, bahkan mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat di masa lampau.[2]
            Pengetahuan adalah terminologi generic yang mencakup segenap cabang pengetahuan yang kita miliki. Sementara ilmu lebih dikenal sebagai disiplin pengetahuan yang relatif lebih teratur dan terorganisasikan.[3] Hal itu tercermin dari keharusannya yang didukung oleh bukti dan kesahihan (validitas) metode yang digunakan untuk memperolehnya.[4]
           
  1. Landasan Penelaahan Ilmu

Landasan pokok dalam penelaahan ilmu pengetahuan bertumpu pada tiga cabang filsafat yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Landasan ontologi berkaitan dengan pemahaman seseorang tentang kenyataan, landasan epistemologi memberikan .pemahaman tentang sumber dan sarana pengetahuan manusia dan aksiologi yang memberikan suatu pemahaman tentang nilai hubungan kualitas objek dengan subjek (ilmuan).[5]

1.       Ontologi
Ontologi menurut Anton Bakker (1992) merupakan ilmu pengetahuan yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi gejala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat bagian. Ontologi berusaha memahami keseluruhan kenyataan, segala sesuatu yang mengada segenapnya.
Dasar ontologi dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi objek penelaahan ilmu. Berdasarkan yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris, karena objeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat di uji oleh panca indra manusia. Berlainan dengan agama atau bentuk-bentuk pengetahuan yang lain, ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu berorientasi terhadap dunia empiris.[6]

2.      Epistemologi
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu teori pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun selama hal itu terbatas pada objek empiris, dan pengetahuan tersebut diperoleh dengan mempergunakan metode keilmuan. Secara garis besar ada tiga aliran dalam bidang epistemologi, yaitu:
a. Rasionalisme
Adalah aliran yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.
b. Empirisme
Adalah aliran yang berpendirian bahwa sumber pokok pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman (indera-indera), akal hanya di pandang sebagai sejenis penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Empirisme dalam filsafat ilmu dapat lebih mengindahkan keharusan untuk mengubah dan mencocokkan sistem ilmu.
c. Kritisme (Rasionalime Kritis)
Adalah aliran yang berpendirian bahwa sumber pengetahuan itu merupakan hasil akal pikiran dan pengalaman.
Rasionalisme kritis dengan tegas mengatakan bahwa rasionalitas suatu ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari pada kekuatan nalar ilmiah sendiri, melainkan justru pada keterbukaan terhadap kenyataan empiris.[7]

3.      Aksiologi
Aksiologi (Kattsoff, 1986) ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai. Secara garis besar ada tiga pandangan tentang hakikat nilai, yaitu:
a. Subjektivisme, nilai menurut pengikut aliran ini sepenuhnya berhakikat subjektif. Nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh menusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka.
b. Objektivisme yang dapat dibagi menjadi objektivisme logis dan objektivisme metafisik
1)      Objektivisme logis, mengatakan bahwa nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu.
2)       Objektivisme metafisik, mengatakan bahwa nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan.[8]

  1. Hubungan dan Manfaat Landasan Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi dalam Landasan Penelaahan Ilmu

Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa Ontologi, bagaimana Epistemologi, dan untuk apa Aksiologi pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini sangat berkaitan antar satu dengan lainnya. Hingga membentuk sebuah hubungan dalam menggkaji sebuah ilmu seperti, apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana cara mendapatkan pengetahuan itu (Epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan termaksud digunakan (Aksiologi)? Dengan ketiga jawaban dari ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam hasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita untuk mengenali berbagai pengetahuan yang ada, seperti ilmu, seni, dan agama serta meletakan mereka pada tempatnya masing-masing yang saling memperkaya kehidupan kita. Tanpa mengenal ciri-ciri pengetahuan dengan benar maka bukan saja kita tidak dapat memanfaatkan kegunaanya secara maksimal namun kadang kita salah dalam menggunakannnya, seperti dikacaukan dengan seni, ilmu di konfigurasikan dengan agama.

DAFTAR  PUSTAKA


Daoed Yeosef, 1986, Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan, Panitia Seminar
Pancasila Sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu,Yogyakarta.
Diari, 2010, Landasan Penelaahan Ilmu Pengetahuan, http://gaul. Blogspot.com, (online).20 Mei 2010
Endang Saifuddin Anshari, 1987, Ilmu Filsafat dan Agama, Bina Ilmu Surabaya.
Jujun S. suriasumantri.2001, Filsafat Ilmu,Sebuah pengantar populer. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.
Soedjono Soemargono, 1983, Filsafat Ilmu pengetahuan, Nur Cahaya, Yogyakarta.
Soeroso M. Prawirohardjo, 1983, Pidato Pengukuhan Guru Besar ; Peranan Meta Etik
di Balik Kebijaksanaan Ilmu pengetahuaan, Gama Press, Yogyakarta.
The Liang Gie,1984, Konsepsi tentang Teknologi, Yayasan Studi Ilmu dan Teknologi,
Yogyakarta.
Yueken, M.SJ, 1968, Philoshopy and Teoretical Science, Majlis Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta.


[1] Mahmud Hamdi Zahruq, Al-Ghozali Sang Sufi Sang Filosof (Bandung: Balai Pustaka, 1978), hal. 33.  
[2] H.H. Bilgrami dan S.A. Ashraf, The Concept of  The Islamic Unifersity (Cambridge: Hodder and
Stoughton and the Islamic Acedemy, 1985), hal. 12.
[3] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam prespektif (Jakarta: Gramedia, 1987), hal. 14.
[4] T.J. Alwani, Islamization of Attitudes and Practices in Science and Technology ( T.tp.: the Association of  Muslim Scientists and engineers and International Institute of Islamic Thought, 1989),hal. 9
[5] Diari, Landasan Penelaahan Ilmu Pengetahuan. (Rabu 03 February 2010 @ 13.17 WIB)
[6] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu. (Liberty yogyakarta 2002) hal. 90
[7] Diari, Landasn Penelaahan Ilmu Pengetahuan. (Rabu 03 Februari 2010, @ 13.17 WIB)
[8] Diari, Landasan penelaahan Ilmu Pengetahuan (Rabu 03 Februari 2010, @ 13.17 WIB