DINAMIKA NU MASA ORDE BARU
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Berbicara masalah NU tidak lepas dari proses panjang berdirinya, maksud dan tujuan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan (jam'iyah diniyah ijtima'iyah) terbesar di belahan bumi khususnya di Indonesia, yang motori oleh KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahab Hasbullah, dengan semangat awal yakni mendirikan Kebangkitan Bangsa (Nahdlatu Wathan), kemudian Kebangkitan Pengusaha (Nahdlatut Tujjar), dan artikulasi pemikiran (Tashwirul Afkar). Ketiga hal tersebut merupakan tiga pilar berdirinya Nahdlatul Ulama.
Dalam sejarah perkembangannya, NU tidak bisa diremehkan hanya sebagai organisasi keagamaan yang berbasis kemasyarakatan. Kontribusi-kontribusi NU yang didarmakan untuk bangsa ini cukup besar. Pada masa awal kemerdekaan NU mampu memberikan sumbangsih pemikirannya dalam perumusan Pancasila sebagai dasar Negara. Melalui resolusi jihad dari KH Hasyim Asya’ari, tentara sekutu yang hendak mengusik keutuhan NKRI berhasil diusir oleh pejuang-penjuang dari kota Pahlawan (Surabaya).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Bagaimana perjalanan NU pada masa orde baru ?
1.2.2 Apa tantangan NU pada masa orde baru ?
1.2.3 Bagaimana perkembangan NU pada masa orde baru ?
1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengetahui perjalanan NU pada masa orde baru
1.3.2 Mengetahui tantangan NU pada masa orde baru
1.3.3 Mengetahui perkembangan NU pada masa orde baru
DINAMIKA NU MASA ORDE BARU
2.1 PERJALANAN NU MASA ORDE BARU
Pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses kembali ke khitthah 1926: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi dicurigai oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya pertemuan, seminar tidak lagi dilarang dan malah sering difasilitasi. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.
Tetapi terjadi perubahan lain yang lebih mengejutkan: di kalangan generasi muda NU terlihat dinamika baru dengan menjamurnya aktivitas sosial dan intelektual, yang nyaris tak tertandingi oleh kalangan masyarakat lain. Selama ini Nahdlatul Ulama dianggap ormas yang paling konservatif dan tertutup, dan sedikit sekali punya sumbangan kepada perkembangan pemikiran, baik pemikiran keagamaan maupun pemikiran sosial dan politik.
Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, NU lebih berkiprah pada pengembangan masyarakat tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga pada rezim inilah terlahir konsensus untuk kembali ke khittah 1926 melalui muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan. Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU. Sampai pada meletupnya reformasi yang pada era itu merupakan kemengan bagi warga nahdliyin.
NU memang punya bobot politik yang cukup besar, karena massa yang bisa dimobilisasi dalam krisis politik. Pada zaman revolusi, dan juga pada zaman peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru, orang NU telah memainkan peranan sangat menonjol, sebagai unsur utama laskar Hizbullah dan Sabilillah pada 1945-49, dan sebagai pelaku utama pembunuhan terhadap orang-orang PKI pada 1965- 66. Berkat kekuatan fisiknya, NU memainkan peranan penting dalam perubahan politik dua masa peralihan tersebut; tetapi sumbangan penting itu tidak pernah dapat diterjemahkan menjadi pengaruh nyata dalam pemerintahan, dewan perwakilan, maupun masyarakat sipil. Dua figur NU yang paling menonjol pada masa peralihan tersebut, Wahid Hasyim dan Subchan ZE, kemudian disingkirkan (dimarginalisir) dari sistem politik; massa NU tak dilibatkan dan tetap berada di pinggiran. Tokoh NU yang bisa survive dekat pusat kekuasaan ialah Idham Chalid, politisi gaya lama yang tidak mewakili sikap atau ideologi tertentu dan selalu bisa beradaptasi dengan setiap perubahan.
2.2 TANTANGAN NU MASA ORDE BARU
Lain dari tersebut di atas, ada empat tantangan yang tidak kalah menariknya yang sedang dihadapi oleh organisasi Bintang Sembilan saat ini, antara lain swebagai berikut:
Pertama, tantangan yang datang dari jurus kanan, yaitu merebahnya faham fundamentalisme dan radikalisme yang tidak bisa difahami secara utuh oleh warga NU.
Kedua, tantangan dari sebelah kiri yang merupakan pemahaman keagamaan secara liberal yang hingga kini justru banyak diminati oleh kalangan muda NU itu sendiri.
Ketiga, adalah tantangan yang datang dari atas, dalam hal ini kuatnya represi penguasa dalam politik praktis.
Keempat, adalah tantangan dari bawah ditandai dengan semakin rendahnya loyalitas warga NU terhadap kiainya yang terkadang juga kalau kita lihat diinternal pun terjadi pertarungan para elit-elitnya.
Ketika para elit mulai berkomplik dan kemudian akan diikuti oleh pengikutnya, maka tidak mustahil akan terjadi split personality yang tidak lama kemudian akan mengancam terhadap eksistensi jam’iyyah dan atau bahkan jama’ah yang ada.
2.3 PERKEMBANGAN NU MASA ORDE BARU
Perkembangan NU dimungkinkan oleh sejumlah factor yang mengurangi isolasi warga NU dari masyarakat luas. Salah satu faktor penting ialah berdirinya IAIN di setiap propinsi, yang membuka peluang bagi alumni pesantren untuk meraih pendidikan tinggi. Kehidupan di kampus, kelompok diskusi, interaksi dengan mahasiswa dari latar belakang berbeda, bacaan yang luas, di samping mata kuliah beragam, kemudian membantu sebagian mereka untuk memperluas cakrawala sosial dan intelektual mereka.
Faktor lain ialah usaha-usaha untuk menggerakkan proyek pengembangan masyarakat melalui pesantren, yang dipelopori oleh LP3ES dan kemudian melibatkan sejumlah LSM nasional dan internasional lainnya. Dengan demikian, pesantren sedikit demi sedikit mulai ditarik ke dalam jaringan komunikasi internasional. Gerakan LSM mulai menjadi faktor penting di panggung politik internasional pada dasawarsa 1960-an. Di Indonesia, sponsor asing mulai membidangi LSM pada dasawarsa 1970-an, dan gerakan LSM menjadi semakin menonjol pada dasawarsa 1980-an.
Dari segi jamaah NU, menjamurnya LSM-LSM di Indonesia dapat dianggap sebagai faktor eksternal, tetapi khususnya sesudah Muktamar Situbondo semakin banyak orang NU sendiri mulai terlibat langsung dalam aktivitas berbagai jenis LSM. Hal ini diperkuat oleh keputusan Situbondo, yang mengalihkan tenaga dan waktu sebagian besar aktivis NU dari arena politik kepada syu’un ijtima’iyyah, yaitu perhatian pada masalah-masalah sosial, dan kepada wacana, perkembangan pemikiran Islam yang relevan.
Proses depolitisasi pada masa Orde Baru, kebijaksanaan massa mengambang, penyederhanaan sistem kepartaian, monoloyalitas pegawai negeri, normalisasi kehidupan kampus, pemaksaan azas tunggal, membawa dampak berat juga terhadap NU. Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, NU merupakan satu-satunya ormas yang mempunyai akses ke akar rumput dan sekaligus aktif sebagai organisasi politik. Karena dukungan massanya, NU selama itu merupakan kekuatan politik terbesar di luar pemerintah, dan dianggap satu-satunya oposisi yang perlu diperhitungkan. Di Situbondo kekuatan politik itu dikorbankan dengan harapan akan dapat menjalin kembali hubungan mesra antara NU dan pemerintah di pusat maupun daerah. Orang boleh bertanya apakah harga depolitisasi tersebut tidak terlalu mahal. Tetapi perkembangan pemikiran dan kegiatan sosial yang menjadi begitu menonjol pada limabelas tahun berikutnya, kelihatannya, tidak akan mungkin terjadi seandainya tidak ada keputusan Situbondo.
Perkembangan tersebut juga tidak lepas dari peranan Abdurrahman Wahid, yang telah memberi contoh dan rangsangan kepada banyak aktivis dan pemikir muda, dan dengan karisma sebagai cucu para pendiri NU sempat melindungi mereka dari kritik kalangan konservatif.
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.1.1 Perjalanan NU Pada Masa Orde Baru
Pada dasawarsa 1980an dan 1990an terjadi perubahan mengejutkan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama, ormas terbesar di Indonesia. Perubahan yang paling sering disoroti media massa dan sering menjadi bahan kajian akademis ialah proses kembali ke khitthah 1926: NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyyah diniyyah’, bukan lagi wadah politik. Dengan kata lain, sejak Muktamar Situbondo (1984) para kiai bebas berafiliasi dengan partai politik mana pun dan menikmati enaknya kedekatan dengan pemerintah. NU tidak lagi dicurigai oleh pemerintah, sehingga segala aktivitasnya pertemuan, seminar tidak lagi dilarang dan malah sering difasilitasi. Perubahan tersebut, walaupun merupakan momentum penting dalam sejarah politik Orde Baru, dapat dipahami sebagai sesuai dengan tradisi politik Sunni, yang selalu mencari akomodasi dengan penguasa.
Ketika rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, NU lebih berkiprah pada pengembangan masyarakat tingkat bawah (grass root) untuk menciptakan civil society. Juga pada rezim inilah terlahir konsensus untuk kembali ke khittah 1926 melalui muktamar NU ke-27 di Sukorejo Situbondo, tahun 1984. Inti dari Khittah adalah keinginan untuk kembali pada semangat perjuangan awal, menjadi ormas sosial keagamaan. Keputusan penting lainnya adalah NU secara formal menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau landasan dasar NU. Sampai pada meletupnya reformasi yang pada era itu merupakan kemengan bagi warga nahdliyin.
3.1.2 Tantangan NU Pada Masa Orde Baru
Pertama, tantangan yang datang dari jurus kanan, yaitu merebahnya faham fundamentalisme dan radikalisme yang tidak bisa difahami secara utuh oleh warga NU.
Kedua, tantangan dari sebelah kiri yang merupakan pemahaman keagamaan secara liberal yang hingga kini justru banyak diminati oleh kalangan muda NU itu sendiri.
Ketiga, adalah tantangan yang datang dari atas, dalam hal ini kuatnya represi penguasa dalam politik praktis.
Keempat, adalah tantangan dari bawah ditandai dengan semakin rendahnya loyalitas warga NU terhadap kiainya yang terkadang juga kalau kita lihat diinternal pun terjadi pertarungan para elit-elitnya.
3.1.3 Perkembangan NU Pada Masa Orde Baru
Perkembangan NU pada masa orde baru dimungkinkan oleh sejumlah factor yang mengurangi isolasi warga NU dari masyarakat luas. Salah satu faktor penting ialah berdirinya IAIN di setiap propinsi, yang membuka peluang bagi alumni pesantren untuk meraih pendidikan tinggi. Kehidupan di kampus, kelompok diskusi, interaksi dengan mahasiswa dari latar belakang berbeda, bacaan yang luas, di samping mata kuliah beragam, kemudian membantu sebagian mereka untuk memperluas cakrawala sosial dan intelektual mereka. Faktor lain ialah usaha-usaha untuk menggerakkan proyek pengembangan masyarakat melalui pesantren, yang dipelopori oleh LP3ES dan kemudian melibatkan sejumlah LSM nasional dan internasional lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Jamaluddin, 2009. Tantangan Nu masa Orde baru. (online). http://www.nu.or.id,
2009-05-15
Maschan, Ali. 2010. NU Untuk Siapa?. Surabaya: Pesantren Luhur Al-Husna
Van, Martan. 2004. NU: jama’ah konserfatif yang melahirkan gerakan progresif.
Jakarta: Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih Atas Partisipasinya