PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mempelajari dan menganalisa aliran pemikiran Mu’tazilah dalam perkembangan pemikiran Islam, merupakan kajian yang sangat menarik dan signifikan. Disebut menarik, karena aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang tertua dan terbesar yang telah memainkan peranan penting dalam pemikiran dunia Islam (A Hanafi MA : 64). Hal menarik lainnya karena Mu’tazilah merupakan representasi kesadaran dunia Islam dalam kemajuan dan kemodernaannya. Disebut signifikan karena mempelajari tentang aliran Mu’tazilah merupakan bagian dari upaya strategis dalam mengembalikan wacana kesadaran Islam sebagai counter peradaban (civilization counter) terhadap dominasi kultural barat. Siginikansi lainnya karena metodologi interpretasi aliran Mu’tazilah memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya dalam melakukan transformasi sosial, politik, budaya dan ekonomi bagi peradaban Islam masa kini.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun dari latar belakang diatas, memunculkan beberapa masalah yaitu :
a) Bagaimana munculnya aliran mu’tazilah ?
b) Bagaimana doktrin aliran mu’tazilah ?
c) Bagaimana prinsip-prinsip aliran mu’tazilah ?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah tersebut, bertujuan untuk :
a) Mengetahui munculnya aliran mu’tazilah.
b) Mengetahui doktrin aliran mu’tazilah.
c) Mengetahui prinsip-prinsip aliran mu’tazilah.
ALIRAN MU’TAZILAH
A. Munculnya Aliran Mu’tazilah
Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari bahasa Arab اعتزل)) berarti : menjauhkan, mengasingkan atau memisahkan. Dalam Al-Qur’an kata-kata ini diulang sebanyak sepuluh kali yang kesemuanya mempunyai arti sama, yaitu al-ibti’ad’ani al syai-i: menjauhi sesuatu. Seperti dalam satu redaksi ayat:
“Artinya: Tetapi jika mereka membiarkan kamu, dan tidak memerangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tidak memberi jalan bagimu (untuk melawan dan membunuh) mereka. “(QS. An-Nisa’:90).
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, Wasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana Wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
B. Doktrin Mu’tazilah Tentang Khalqu Af’alil ‘Ibad
Berbicara tentang mu’tazilah sebenarnya tidak terlepas dari aliran-aliran yang ada sebelumnya, terutama yang menyangkut permasalahan yang dimunculkan kaum khawarij terhadap suatu masalah “orang yang melakukan dosa besar” yang terkenal dalam istilah mutakallimin dengan debutan “Khalqu Af’alil ‘Ibad”. Dalam hal ini kaum azariqoh dari golongan khawarij berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar itu adalah kafir, yaitu kafir terhadap agama, yang berarti keluar dari agama Islam, dan kekal dalam neraka.
Golongan mu’tazilah berpendapat bahwa manusia adalah berwenang untuk melakukan segala perbuatannya sendiri. Sebab itu ia berhak untuk mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, dan sebaliknya ia juga berhak untuk disiksa atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya.
Untuk menguatkan pendapat-pendapatnya itu, mu’tazilah berdalil pada ayat-ayat Al-Qur’an, antara lain ialah:
Artinya “Tiap-tiap jiwa terikat dengan apa yang diperbuatnya.” (QS. Al-Mudattsir:38)
Artinya “Maka siapa yang hendak beriman, berimanlah, dan siapa yang hendak kafir, kafirlah!.” (QS. Al-Kahfi:39)
Artinya “Sesungguhnya kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, adakalanya dia bersyukur dan adakalanya dia mengingkari.” (QS. Ad-Dahr:3)
Artinya “Sesungguhnya ini adalah peringatan, maka siapa yang ingin, tentu ia mengambil jalan kepada Tuhannya.” (QS. Al-Muzamil:19)
Artinya “Barangsiapa berbuat baik, maka itu adalah buat dirinya, dan siapa yang berbuat jahat, maka itu merugikan dirinya. Dan tiadalah Tuhanmu aniaya terhadap hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat:46)
Artinya “Dan bawasanya tiadalah bagi manusia, kecuali apa yang telah dikerjakannya. Dan bawasanya usahanya itu diperlihatkan. Kemudian ia akan diberi balasan yang paling sempurna.” (QS. An-Najmu:39-41)
Artinya “Dan barangsiapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.” (QS. An-Nisa’:111)
Selain itu bagi aliran mu’tazilah menyebutkan bahwa kedudukan bagi orang yang berbuat dosa besar, maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mu’min secara mutlak, melainkan dia akan ditempatkan pada suatu tempat yang terletak diantara dua tempat (al-manzilah bain al manzilatain), ia tidak mu’min tidak pula kafir, tetapi menjadi fasiq (lihat: subhi, 1982, Fi’ Ilm al-Kalam, Iskandariyah: Tsaqofah al-Jami’ah, hal.67).
Menurut As-Syahristani dalam Al Milalu Wan Nidal, bahwa bagi mu’tazilah, iman itu adalah ungkapan bagi sifat-sifat yang baik, yang apabila sifat-sifat itu terkumpul pada diri seseorang maka ia disebut mu’min. Dengan demikian, kata mu’min tersebut merupakan suatu nama pujian. Dan orang-orang yang melakukan dosa besar, sedang pada dirinya tidak terkumpul sifat-sifat yang baik, maka ia tidaklah berhak untuk mendapatkan nama pujian. Dengan demikian ia tidak dapat disebut mu’min. Akan tetapi ia bukan pula kafir secara mutlak, karena syahadah dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang ada padanya tidaklah dapat dipungkiri. Tetapi apabila ia keluar dari dunia ini dalam keaadaan berdosa besar dan tidak bertobat kepada Allah, maka ia adalah penduduk neraka untuk selama-lamanya, sebab diakherat kelak hanya ada dua golongan saja, satu golongan di dalam surga dan yang lain di neraka, hanya saja adzab yang dikenakan kepadanya lebih ringan daripada adzab yang dikenakan kepada orang kafir-kafir.
C. Prinsip-Prinsip Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah, sebagai sebuah aliran teologi, memiliki azas dan landasan tersendiri yang selalu di pegang erat oleh mereka, maka di atasnyalah prinsip-prinsip mereka dibangun. Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul –Komsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:
1. At-Tauhidi: Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik khusus golongan mu’tazilah, tapi mu’tazilah mengartikan tauhid lebih spesifik, yaitu Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan Allah. Tuhanlah satu-satunya Yang Maha Esa tidak ada satupun yang menyamainya. Oleh karena itu, hanya dialah yang Qodim. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Menurut mu’tazilah sifat adalah sesuatu yang melekat. Jadi sifat besar sama’ , Qodrat dan seterusnya itu bukan sifat melainkan dzatnya Allah itu sendiri. Bahkan mu’tazilah juga berpendapat bahwa Al-Qur’an itu baru (makhluk) karena Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Allah, sedangkan Al-Qur’an itu sendiri terdiri dari rangkaian huruf-huruf, kata, dan bahasa yang salah satunya mendahului yang lain. Tauhid memiliki beberapa jenis dan tingkatan, yaitu:
Tauhid Zati artinya adalah bahwa zat Allah adalah satu dan tidak terpisah. Tak ada tandingannya. Semua eksistensi yang lanilla adalah merupakan ciptaanNya dan eksistensinya jauh dibawahNya. Tidak ada satu eksistensipun yang pantas untuk diperbandingkan denganNya.
Tauhid Sifati artinya adalah bahwa sifat-sifat Allah seperti Maha mengetahui, Maha melihat, Maha mendengar, Maha pengasih, Maha penyayang, Maha Adil, dan seterusnya itu bukanlah merupakan eksistensi-eksistensi yang terpisah dari dzat Allah. Sifat-sifat tersebut identik denganNya, dalam pengertian yang lain bahwa sifat-sifat Tuhan itu adalah sedemikian rupa sehingga sifat-sifatNya merupakan realitas dzat Allah sendiri, atau dengan kata lain bahwa manifestasi Tuhan itu adalah sifat-sifat ini.
Tauhid Af’ali artinya adalah bahwa semua perbuatan-perbuatan (termasuk perbuatan manusia,red) ada karena kehendak Allah, dan sedikit banyak dikehendaki oleh zat suciNya.
Tauhid Ibadi artinya adalah bahwa selain Allah tak ada yang patut untuk disembah dan tak ada yang patut untuk diberi dedikasi. Menyembah atau beribadah kepada siapa atau kepada apa saja selain Allah adalah syirik, dan orang yang melakukan hal seperti itu dianggap telah keluar dari tahid Islam.
2. Al-Adl: masih ada hubungannya dengan tauhid, al-adl yang berarti Tuhan Maha Adil. Paham keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan. Tuhan wajib mencurahkan lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia. Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena tidak ada artinya syari’ah dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan Mu’tazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya.
3. Al-Wa’d Wa al-Wa‘id: yang berarti janji dan ancaman. Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang-orang yang berbuat jahat. Begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat Nassau pasti benar adanya. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
4. Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain: dimaksudkan posisi diantara dua tempat. Posisi menengah dalam ajaran Mu’tazilah di tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat dosa besar bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw, tetapi tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi sempurna, maka inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya), akan tetapi di akhirat hanya ada syurga dan neraka, maka tempat bagi orang-orang yang berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama dengan orang-orang kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan orang kafir. Jadi lebih ringan dari orang kafir.
5. Al-Amru Bil Ma’ruf Wa An-Nahyu ‘An al- Munkar: Perintah berbuat baik dan mencegah kemungkaran adalah suatu kebajikan bagi semua umat Islam. Seruan amar ma’ruf nahi munkar bisa dilakukan dengan hati, tetapi jika memungkinkan dapat dilakukan dengan seruan bahkan dengan tangan dan pedang. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang artinya :“Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hati, itulah serendah-rendahnya iman”.
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
A. Munculnya Aliran Mu’tazilah
Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari bahasa Arab اعتزل)) berarti : menjauhkan, mengasingkan atau memisahkan. Sejarah munculnya aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
B. Doktrin Aliran Mu’tazilah
Adapun dalam doktrin, mu’tazilah berpendapat bahwa manusia adalah berwenang untuk melakukan segala perbuatannya sendiri. Sebab itu ia berhak untuk mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, dan sebaliknya ia juga berhak untuk disiksa atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya.
C. Prinsip-prinsip aliran mu’tazilah
1. At-Tauhidi
2. Al-Adl
3. Al-Wa’d Wa al-Wa‘id
4. Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain
5. Al-Amru Bil Ma’ruf Wa An-Nahyu ‘An al- Munkar
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Siradjudin. 2005. I’tiqod Ahlusunnah Wal Jama’ah. Yakarta: Pustaka Tarbiyah.
Ani72. 2009. Pemikiran Kalam Aliran Mu’tazilah, (online). Di Muka Bumi Putih. 7 November 2010.
Nasution, Harun. 2008. Teologi Islam. Yakarta: UI Press.
Rozaq, Abdul dan Rosían, Anwar. 2010. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih Atas Partisipasinya