alhikmah.com - Aliran-aliran sempalan dan gerakan pemurtadan yang ada dan berkembang di Indonesia sekarang ini, mulai tumbuh di tengah alam kebebasan dan euphoria reformasi mempunyai titik temu yang apabila dicermati terdapat pada, sumbernya yang sama yakni dari satu paham mistisisme-sufi. Dan kalau diselidiki lebih jauh lagi, ternyata hal itu tidak lepas dari pengaruh kuku-kuku Yahudi. Faktanya, ajaran Anand Krishna, Lia Aminuddin, Baha’i dan lainnya gencar dipromosikan tidak pernah ada teguran apalagi tindakan tegas dari pihak berwenang untuk menghentikannya.
Bahkan, pada era kepemimpinan presiden Abdurrahman Wahid yang akrab dengan pihak Yahudi, di mana ia menjadi salah seorang anggota Shimon Pers Fondation, berniat untuk meresmikan Baha’i sebagai agama yang sah diakui pemerintah Indonesia.
Hal ini yang kemudian dicermati oleh H. Hartono Ahmad Jaiz, seorang pemerhati masalah-masalah aliran sempalan dalam Islam. Ia kemudian berinisiatif untuk menulis buku yang membahas hal itu. Dan pada hakekatnya buku ini merupakan refleksi pemikirannya dalam berinteraksi dengan banyak aliran sempalan dalam Islam yang kalau dibiarkan sangat membahayakan, karena tidak jelas dasar dan ujung pangkalnya, bahkan cenderung menyimpang sehingga membawa dampak pada kekacauan umat dalam memahami ajaran Islam.
Buku ini juga sebagai bentuk keprihatinannya terhadap komidisi umat Islam yang dibodohi tanpa sadar oleh sekelompok orang yang mengaku paham dien al-Islam, sekaligus bentuk serangan balik terhadap kampanye ajaran tasawuf.
Tasawuf merupakan tempat bertemunya antara berbagai paham menyimpang, ghuluw (berlebih-lebihan dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam, red) bahkan sesat. Hal ini disebabkan karena tasawuf bukan hanya metode pembersihan jiwa (baca; tazkiyatu an-nafs), memperbaiki akhlaq dan memperbagus moral, tetapi tasawuf mempunyai manhaj, thariqah, jalan dan system yang sangat longgar dalam hal shahih tidaknya suatu sumber hukum dan dalil serta keterangan untuk dijadikan hujjah. Terlebih lagi sumber-sumber tasawuf itu sendiri adalah hal-hal yang tidak jelas dan syubhat. Di antaranya adalah mimpi-mimpi syaikh fulan, alamat-alamat tertentu dan cerita-cerita kaum sufi yang tidak karu-karuan serta tidak jelas juntrungannya.
Paragraf di atas merupakan bagian dari pengantar Hartono dalam bukunya yang berjudul, “Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan”. Tidak berlebihan dan tidak ada yang salah dari apa yang disampaikannya, karena memang ketidakjelasan di mana juga tasawuf berpijak di atasnya, merupakan awal dari semua penyimpangan terhadap kemurnian ajaran Islam.
Hal ini sama sekali bertolak belakang dengan Islam yang sangat jelas dasar dan pijakannya, yakni al-Qur’an yang agung dan Hadits Nabi yang mulia di atas inilah ajaran Islam dibangun dan daripadanya bersumber segala hukum dan tindakan para pemeluk dan penganutnya. Keduanya jelas dan shahih, tidak bisa diragukan sedikitpun, karena orisinilitas dan keautentikannya bisa dipertanggung-jawabkan sepanjang masa. Ini mendapat jaminan dari Allah. [QS. Al-Hijr/15:9].
Contoh kongkrit dari ketidakjelasan pijakan dasar beramal dalam tasawuf pernah ditayangkan di televisi swasta Indonesia beberapa tahun yang lalu. Di mana seorang dosen perempuan dari Bandung-Jawa Barat yang biasa membawakan acara tasawuf di AN Teve, ketika berbincang-bincang dengan seorang dosen perempuan dari Bogor yang menganut paham tasawuf, sang dosen ketika itu mengemukakan cerita tentang seorang syaikh sufi yang suatu ketika ia masuk hutan, mungkin ingin melakukan khalwath yang lebih layak disebut bersemidi. Ketika sufi itu berada di dalam semua binatang yang ada di dalam hutan termasuk yang buas tunduk-patuh kepada sufi tersebut. Sampai-sampai ular berubah menjadi tongkatnya, tapi sayang tidak dijelaskan bagaimana proses perubahan ular itu sehingga bisa menjadi tongkat. Dosen tersebut menyampaikan, bahwa penyebab hal itu adalah karena sufi tersebut selalu diam dan tidak berbicara ketika diomeli istrinya, sesuatu yang impossible, karena apa yang disampaikan oleh dosen tersebut, lemah sumbernya, dongeng yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan.
Dalam buku yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar ini, Hartono secara panjang lebar mengupas dan memaparkan, mengapa tasawuf menjadi benang merah dan tempat transitnya semua paham jahiliyah yang merusak kemurnian ajaran Islam bahkan berkolaborasi dengan Yahudi dan Nasrani. Sebutkan bahwa ajaran yang paling mencolok dalam dunia tasawuf adalah maqam (baca; kedudukan atau derajat) seseorang yang telah sampai pada wihdah al-wujud (bersatunya makhluq dengan Tuhan) merupakan maqam tertinggi di kalangan sufi.
Padahal, ajaran wihdah al-wujud dalam paham tasawuf tidak bisa dipisahkan dari Abu Bakar Muhammad bin Ali Muhyiddin al-Hatimi ath-Thai al-Andalusi, yang lebih dikenal dengan Ibnu Arabi sebagai bapaknya tasawuf yang sesat dan menyesatkan. Di mana ia dikafirkan oleh 37 ulama pada zamannya dan dihukum mati di Damaskus. Begitu pula dengan Husen bin Manshur al-Hallaj penerus Ibnu Arabi dieksekusi (baca; dihukum mati) di Baghdad karena memproklamirkan bahwa Allah bersatu dengan dirinya. Ini ajaran yang jelas membawa kepada kesyirikan. Padahal, syirik adalah dosa yang tidak diampuni Allah [QS. An-Nisaa’/4: 115].
Dan di Indonesia, paham ini sekarang dipasarkan oleh Anand Krishna yang merupakan penerus ajaran Sai Baba yang ingin menyatukan tiga agama, Islam, Yahudi dan Nasrani. Inti ajarannya, Tuhan adalah Aku, Aku adalah Tuhan dan re-inkarnasi serta semua agama sama.
Buku yang bertebal 351 + XX halaman ini di samping mengurai bahaya paham tasawuf, juga memaparkan paham-paham yang akan menyimpangkan umat Islam dari kemurnian ajarannya. Dengan sangat jeli dan teliti, Hartono mengupas bahaya ajaran itu dari sisi aqidah maupun syariah. Dari acara ruwatan sampai Yahudisasi dan pemurtadan. Ada juga Darul Hadis, Islam Jama’ah, Lemkari, LDII, Ahmadiyah dan lainnya. Baik yang dilakukan oleh penguasa, cendikiawan maupun kyai.
Banyak paham-paham dan ajaran sesat yang dimungkinkan menyebar di Indonesia karena disebabkan oleh paham tasawuf yang semakin gencar dikampanyekan oleh sebagian orang yang merasa dirinya pintar dan berjasa, seiring dengan terbukanya kran reformasi dan demokrasi, baik melalui seminar-seminar, kajian-kajian esklusif yang banyak dihadiri kaum eksekutif, yang juga disiarkan di radio dan televisi yang dipandu oleh artis dan selebritis. Dan pada bulan Ramadhan biasanya diadakan acara khusus dengan materi-materi tasawuf tanpa bobot dan mutu serta menyesatkan. Bahkan sudah ada majalah yang khusus membahas masalah tasawuf ini, di antaranya adalah majalah Tasawuf dan Majalah Sufi yang terbit bulanan.
Lebih dahsyat lagi, ternyata tasawuf bersinggungan secara tidak langsung dengan Yahudisasi di Indonesia. Para alumni Barat yang belajar Islam di sana dan diajar serta diasuh oleh antek-antek Yahudi setelah pulang ke Indonesia biasanya gencar menjajakan tasawuf di mana-mana.
Perlu dicatat, suatu ketika Nurkhalish Madjid pernah mengungkapkan gagasannya secara gencar yang berkaitan dengan paham tasawuf yang ghayah (arah dan tujuannya) tidak jelas. Dalam menafsirkan “Iyyakana’budu wa iyyakanasta’in” Cak Nur, begitu biasa dipanggil, berkomentar bahwa kalau kita baru sampai kepada iyyakana’budu berarti kita masih mengklaim diri kita mampu dan aktif menyembah. Tetapi kalau kita sudah sampai pada iyyakanasta’in, maka kita lebur dan menyatu dengan Tuhan. Doktrin inilah yang menyebabkan Ibnu Arabi dan al-Hallaj dihukum mati.
Dalam buku yang diterbitkan pertama kali pada Maret 2001 ini, Hartono tanpa kompromi membabat habis semua paham dan isme yang menyimpang dari kemurnian Islam. Dengan hujjah yang kuat dan shahih tentunya. Dan memang begitulah seharusnya sikap seorang muslim, sebagaimana sikap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Abdul Aziz yang sempat memenjarakan tukang dongeng yang mendasari ceritanya pada Israiliyat.
Tak ada gading yang tak retak, tak ada tulisan yang tidak ada kekurangannya. Begitulah buku Hartono ini, meskipun ia sudah ditulis dan dibahas dengan panjang lebar disertai argumen yang sharih dari al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Ada yang tidak dijelaskan oleh Hartono, bahwa tasawuf yang bagaimana yang tidak sesat, karena sempat ditulisnya bahwa kesesatan tasawuf karena tidak hanya mengajarkan kebersihan jiwa dan perbaikan akhlaq. Di sini terlihat sedikit ketidak-jelian Hartono melihat masalah tasawuf yang dijabarkannya. Kalau memang benar ada tasawuf yang tidak sesat dan tidak menyesatkan itu.
Meskipun demikian, buku ini cukup layak untuk dikonsumsi umat Islam Indonesia, karena uraiannya, terutama tentang paham yang menyimpang dan menyempal, akan dapat menjadikan setiap muslim berhati-hati dalam berinteraksi dengan setiap ajaran dan arus pemikiran yang terus berkembang dan tumbuh secara bebas, karena didukung oleh kondisi Indonesia yang demikian permisif.
Metode penulisan buku ini cukup apik, karena ditulis dengan bahasa yang benar dan mudah dimengerti, tanpa sedikitpun mengurangi keilmiahannya karena diback-up oleh fakta dan data yang lengkap, serta akurasi eksperimennya bisa dipertanggung-jawabkan. Mengingat, Hartono adalah seorang mantan wartawan yang banyak pengalaman dalam mengemban dakwah ke berbagai pelosok tanah air, bahkan sudah pernah menjelajah ke Bosnia Herzegovina. Dan sekarang ia masih menjadi seorang redaktur Majalah Media Dakwah, sebuah majalah yang gencar menyoroti aliran, paham dan isme yang menyempal dalam Islam serta segala kepercayaan yang membahayakan Islam dan umat Islam.
Kesesatan paham tasawuf sebenarnya menunjukkan bahwa, manhaj dan paham yang benar dalam Islam hanyalah satu, yakni jalan yang pernah dilalui oleh Rasulullah dan para shahabatnya serta orang-orang sesudahnya yang tetap istiqomah mengikuti petunjuknya. Dan paham yang selain itu yang menyimpang berarti sesat dan menyesatkan, yang tentu saja harus dijauhi dan dibuang sejauh-jauhnya dari diri dan keluarga serta lingkungan umat Islam.
Beberapa dalil berikut bisa dijadikan ukuran terhadap hal itu. Rasulullah bersabda: “Saya adalah orang yang kenal dengan Allah dan paling takut kepada-Nya, namun saya bangun dan tidur, berpuasa dan berbuka dan saya beristrikan wanita-wanita. Oleh karena itu barang siapa membenci sunnahku maka dia bukan dari golonganku” (HR. Bukhari).
Dan patokan dalam menjalankan ajaran Islam ditegaskan oleh Nabi Saw dengan sabdanya: “Jauhilah oleh kalian ghuluw (berlebih-lebihan) dalam beragama. Karena sesungguhnya rusaknya orang-orang sebelum kamu sekalian itu adalah karena ghuluw” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah dan lainnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih Atas Partisipasinya