S e l a m a t D a t a n g P a r a T a m u T a k D i U n d a n g !!!!

Aliran Murji'ah

KONSEP PEMIKIRAN KALAM ALIRAN MURJI’AH
1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Setelah Nabi Muhammad wafat, umat Islam pada zaman sahabat dipimpin oleh Khulafa’ur Rosyidin, yaitu Abubakar Ashidiq Umar Bin Khottob, Ustman Bin Affan dan Ali Bin Abi Tholib. Pada saat itu terjadi pula polemik-polemik dalam pemerintahan mereka. Ketika saat kepemimpinan Ustman Bin Affan itu mulai terjadi persoalan yang sangat besar yaitu masalah politik dan perpecahan kaum menjadi beberapa golongan. Peristiwa terbunuhnya Ustman Bin Affan adalah yang menjadi awal dari perpecahan tersebut. Terdapat beberapa aliran pada waktu itu, diantaranya adalah Khawarij, Murji’ah dan Mu’tazilah.
Dalam hal ini yang akan di bahas adalah kaum Murji’ah di dalam makalah ini akan dijelaskan asal kemunculannya, doktrin-doktrinnya dan sekte-sekte kaum Murji’ah.
1.2 RIMUSAN MASALAH
Kalau dilihat dari latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang harus di bahas dalam makalah ini, yaitu
1.2.1. Bagaimana awal kemunculan Murji’ah ?
1.2.2. Bagaimana doktrin-doktrin Murji’ah ?
1.2.3. Apa saja sekte-sekte kaum Murji’ah ?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dalam penulisan makalah ini bertujuan sebagai berikut :
1.3.1. Mengetahui awal kemunculan Murji’ah
1.3.2. Mengetahui doktrin-doktrin Murji’ah
1.3.3. Mengetahui sekte-sekte Murji’ah

KONSEP PEMIKIRAN KALAM ALIRAN MURJI’AH
2.1. ASAL-USUL KEMUNCULAN MURJI’AH
Sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan di kalangan umat Islam setelah Ustman Bin Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat, kaum Khawarij, pada mulanya adalah pendukung Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya, karena adanya perlawanan ini pendukung-pendukung yang setia padanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syi’ah. Kaum khawarij dan syi’ah merupakan 2 golongan yang bermusuhan, sam-sama menentang kekuasaan Bani Umayah, tetapi dengan motif yang berlainan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang menunda (arja’a) penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan. Dengan demikian, kaum murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang netral, tidak ikut campur dalam pertentangan.
Nama murji’ah di ambil dari kata irja/arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Maksud dari pengharapan yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat dari Alloh. Kata Arja’a berarti pula meletakkan di belakang / mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing kehari kiamat kelak. (Cyril Glase, 1989, hlm. 288-289).
Aliran murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh orang aliran khawarij. (Abuddin, 2001. Hal. 33). Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan. Karena hanya Tuhan lah yang mengetahui keadaan iman sesorang.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah baik sebagai kelompok politik maupun teologis diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan syi’ah dan khawarij. Kelompok ini merupakan musuh berat khawarij (mont gomery, 1987, hlm. 23).
Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja, yang merupakan basis doktrin murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Tholib, Al Hasan bin Muhammad Al Hanafiyah, tahun 695. Watt, penggagas teori ini menceritakan bahwa 20 tahun setelah kematian Mu’awiyah pada tahun 680, dunia Islam di koyak oleh pertikaian sipil. Al-Mukhtar membawa faham syi’ah ke Kufah dari tahun 685 – 687; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di Makah hingga yang berada di bawah kekuasaan Islam sebagai respon dari keadaan ini muncul gagasan irja atau penangguhan.
Gagasan ini pertama kali dipergunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Tholib dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat itu Hasan menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan “Kita mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Ustman, Ali dan Zubayr (seorang tokoh pembelot ke Mekah)”. Dengan sikap politik ini, Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak berdampingan dengan kelompok syi’ah revolusioner yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia adalah keturunan si pendosa Usman. (Gibb and J.H. Krammers. Coc. Cit).
Literatur mengenai petumbuhan dan perkembangan pemikiran kaum murji’ah, oleh sebab-sebab yang belum dapat diketahui; sedikit sekali walaupun perkembangan pemikiran dan perpecahan kaum murji’ah tidak diuraikan dengan jelas. Tetapi bagaimanapun juga, kaum murji’ah pecah menjadi golongan-golongan kecil. Berlainan dengan khawarij, kaum murji’ah menekankan pemikiran pada siapa yang masih mukmin dan tidak keluar dari Islam. Disamping itu mereka juga membahas soal jabariyah atau fatalisme dan soal qodariyah. Golongan-golongan yang timbul dari perbedan pendapat tentang soal-soal ini tidak sebanyak golongan-golongan pada yang terdapat dalam aliran khawarij.
Sebagaimana aliran teologi, kaum murji’ah ini mempunyai pendapat tentang akidah yang secara umum dapat di golongkan kedalam pendapat yang moderat dan ekstrim. Murji’ah yang moderat berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang ia lakukan, dan ada kemungkinan Tuhan akan mengampuninya.
Pada golongan murji’ah yang moderat terdapat nama Al-Hasan ibnu Muhammad bin Ali bin Abi Tholib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Menurut golongan ini bahwa orang Islam yang berdosa besar masih tetap mukmin. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi definisi Iman sebagai berikut:
Iman adalah pengetahuan dan pengakuan adanya Tuhan, Rosul-rosulNya dan tentang segala yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan tidak dalam perincian-perincian, iman tidak mempunyai sifat bertambah dan berkurang, dan tidak ada perbedaan diantara manusia dalam hal iman.
Adapun golongan murji’ah yang ekstrim tokohnya adalah Jahm bin Sofwan dan pengikutnya disebut Al-Jahmi’ah. Golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan, kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena kafir dan iman tempatnya bukan dalam bagian tubuh manusia tetapi dalam hati sanubari. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa orang yang telah menyatakan iman meskipun menyembah berhala, dll dan kemudian mati tidaklah menjadi kafir melainkan tetap mukmin dalam pandangan Allah. (al karim. Hlm. 203). Pandangan serupa ini muncul dari prinsip yang mereka anut yaitu bahwa iman tempatnya di hati, ia tidak bertambah dan tidak berkurang karena perbuatan apapun dan amal tidak punya pengaruh apa-apa terhadap iman.

2.2. DOKTRIN-DOKTRIN KAUM MURJI’AH
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktri irja atau arja’a yang di aplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hamper selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok Murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan (mortal and venial sains), tauhid, tafsir Al-Quran, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman nabi (the impeccability of the profhet), hukuman atas dosa (punishment of sins), ada yang kafir (infidel) di kalangan generasi islam, tobat (redress of wrongs), hakikat Al-Quran, nama dan sifat Allah, serta ketentuan Tuhan (predestination).
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Munawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu :
a. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c. Meletakkannya (kepentingan) iman daripada amal.
d. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Sementara itu Abu ‘A’ la Al-Maududin menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu :
a. Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang di fardukan dan melakukan dosa besar.
b. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

2.3. SEKTE-SEKTE
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat (bahkan dalam hal intensitas) di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya antara lain adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang di klaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak di klaim pengamat laim. Tokoh yang dimaksud adalah Washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah. Olek karena itulah, Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:
a. Murji’ah-Khawarij,
b. Murji’ah-Qadariyah,
c. Murji’ah-Jabariyah,
d. Murji’ah Murni,
e. Murji’ah Sunni (tokohnya adalah Abu Hanifah).
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah, yaitu :
a. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan.
b. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi.
c. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Samary.
d. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus.
e. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban.
f. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimsaqy.
g. An-Najariyah, pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr.
h. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah An-Nu’man.
i. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib.
j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz Ath-Thaumi.
k. Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy.
l. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.
Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-rasun-Nya serta apa saja yang dating dari-Nya secara keseluruhan namun secara garis besar. Iman ini tidak bertambah tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Thalib, Abu Hanifa, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.
Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah,Ash-Shalihiyah,Al-Yunisiyah,Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan seperti berikut :
a. Jahmiyah, kelompok Jahm bi Shafwan dan para pengikutnya, berpandabgab bahwa orang yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dari tubuh manusia.
b. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Selain bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
c. Yususiyah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perpuatan jahat, banyak arau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (polytheist).
d. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan “Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini,” maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan “Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah di India atau di tempat lain.”

PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
3.1.1 ASAL-USUL KEMUNCULAN MURJI’AH
Sebagaimana halnya dengan kaum Khawarij, kaum Murji’ah pada mulanya juga ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan khilafah yang membawa perpecahan di kalangan umat Islam setelah Ustman Bin Affan mati terbunuh. Seperti telah dilihat, kaum Khawarij, pada mulanya adalah pendukung Ali, tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya, karena adanya perlawanan ini pendukung-pendukung yang setia padanya bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan satu golongan lain dalam Islam yang dikenal dengan nama Syi’ah. Kaum khawarij dan syi’ah merupakan 2 golongan yang bermusuhan, sam-sama menentang kekuasaan Bani Umayah, tetapi dengan motif yang berlainan.
Dalam suasana pertentangan ini, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah dan memandang menunda (arja’a) penyelesaian persoalan ini ke hari perhitungan di depan Tuhan. Dengan demikian, kaum murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang netral, tidak ikut campur dalam pertentangan.
Nama murji’ah di ambil dari kata irja/arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan,dan pengharapan. Maksud dari pengharapan yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat dari Alloh. Kata Arja’a berarti pula meletakkan di belakang / mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing kehari kiamat kelak.



3.1.2 DOKTRIN-DOKTRIN KAUM MURJI’AH
Berkaitan dengan doktrin teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Munawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
c. Pemberian harapan (giving of hope) terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
d. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptis dan empiris dari kalangan helenis.
3.1.3 SEKTE-SEKTE
Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:
a. Murji’ah-Khawarij,
b. Murji’ah-Qadariyah,
c. Murji’ah-Jabariyah,
d. Murji’ah Murni,
e. Murji’ah Sunni (tokohnya adalah Abu Hanifah).
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah, yaitu :
a. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan.
b. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalahi.
c. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus As-Samary.
d. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus.
e. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban.
f. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimsaqy.
g. An-Najariyah, pengikut Al-Husain bin Muhammad An-Najr.
h. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Haifah An-Nu’man.
i. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib.
j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz Ath-Thaumi.
k. Al-Murisiyah, pengikut Basr Al-Murisy.
l. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam As-Sijistany.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin. 2001. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Ed. 1., Cet.5.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Nasution, Harun. 2008. Teologi Islam. Cet.5. Jakarta : Penerbit Universitas
Indonesia (UI – Press)
Rozak, Abdul. 2001. Ilmu Kalam. Cet. 1. Bandung: Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih Atas Partisipasinya